Ismail mengatakan, semula daerah tempatnya tinggal di Pikey, Wamena, tidak terkena dampak demonstrasi mahasiswa karena warga menentang aksi tersebut. Namun, suasana unjuk rasa yang semakin memanas, menggiring para demonstran merangsek masuk ke tempat tinggalnya.
Pembakaran sejumlah fasilitas dan pemukiman penduduk pun tak dapat dihindari. Ismail bersama warga lainnya terpaksa mengungsi ke sebuah gereja di Pikey, satu-satunya bangunan yang tidak menjadi sasaran amuk massa.
Situasi saat kerusuhan di Wamena. (Paul Tambunan/era.id)
Ismail juga meluruskan kabar yang beredar bahwa kerusuhan di Wamena dilakukan oleh warga lokal. "Para pelaku pembakaran bukan warga Wamena, melainkan dari daerah sekitarnya seperti dari Tiom dan Nduga," ungkapnya, seperti dikutip Antara, Selasa (1/10/2019).
Dia juga mengungkapkan saat kericuhan terjadi, justru warga asli Wamena dan para pendeta di Gereja Pikey yang membantu mengamankan sekitar 300 warga perantau. Saat diselamatkan, lanjut Ismail, para pendemo sempat meminta agar telepon genggam milik warga perantau dikumpulkan, namun permintaan itu ditolak oleh Ismail.
"HP saya tidak dikumpul. Itu saya gunakan untuk menelepon Kodim 1702 Wamena dan melaporkan bila ada 300 orang disandra mahasiswa yang berjaga-jaga di luar gereja," tutur Ismail.
Ismail mengatakan, sebelum diamankan ke dalam gereja Pikey, dia sempat membawa dua anak pemilik rumah makan Padang di Kawasan Pikey untuk lari menyelamatkan diri ke kebun dan bersembunyi di kandang babi.
Dia mengatakan, para mahasiswa berjanji akan memulangkan pengungsi dengan selamat jika lima rekan mereka yang ditangkap oleh aparat keamanan dilepaskan. Akhirnya, pada Senin 23 September 2019 malam, pengungsi diperbolehkan keluar dari gereja.
"(Kami) keluar dari gereja dengan cara berbaris per kelompok dan terus diamati mahasiswa yang berjaga di luar gereja, karena tidak berani dengan warga asli Wamena yang menjaga kami," kata Ismail.
Kondisi bangunan yang dibakar pendemo usai kerusuhan di Wamena. (Paul Tambunan/era.id)
Kini, Ismail bersama para pengungsi lainnya telah dievakuasi dari Wamena pada Selasa pagi (1/10/2019) menggunakan pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara. Dia berharap bisa mendapat bantuan untuk pulang ke kampung halamannya, karena saat ini dia sudah tak memiliki harta benda apa pun.
Sebelumnya, pihak kepolisian telah menegaskan bahwa kericuhan yang menyebabkan kerusakan rumah warga, perkantoran maupun fasilitas umum, juga menyebabkan lebih dari 30 orang meninggal dunia itu bukan dilakukan oleh orang Lembah Baliem atau penduduk asli setempat.
"Pelaku pembakaran bukan penduduk asli Wamena (orang Lembah Baliem). Mereka justru banyak membantu memberi perlindungan kepada para pendatang dengan mengamankan di rumah warga maupun gereja," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal di Jayapura, kemarin.
Kamal juga membantah informasi di media sosial uang menyebutkan kondisi di Wamena saat ini tidak terkendali. Dia menegaskan, pihak keamanan, baik Polri maupun TNI akan menjamin keamanan bagi seluruh warga Wamena.
Sementara Kepala suku Lembah Baliem, Agus Hubi Lapago meminta para warga pendatang untuk tidak mengungsi. Dia yakin bahwa para perusuh berasal dari luar Wamena.
"Masyarakat asli Wamena sangat mencintai masyarakat lainnya yang tinggal di Papua. Sasaran kekerasan tidak hanya ditunjukan kepada etnis tertntu saja yang tinggal di Wamena," ujar Agus.