Hukuman Mati yang Kini Mulai Ditinggalkan

| 10 Oct 2019 15:27
Hukuman Mati yang Kini Mulai Ditinggalkan
Ilustrasi (Kalhh/Pixabay)
Jakarta, era.id - 10 Oktober diperingati sebagai World Day Againts the Death Penalty atau Hari Anti-Hukuman Mati. Peringatan ini pertama kali dicetuskan pada 2003, sebagai upaya memperkuat perjuangan internasional untuk menghapuskan hukuman mati di seluruh dunia. 

Peringatan yang dilakukan setiap tahun ini juga bertujuan menarik perhatian pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tahun ini, pada peringatan Hari Anti-Hukuman Mati ke-17, menyoroti tantangan yang dihadapi anak-anak dari orang tua yang dihukum mati.

Menurut World Coalition Against the Death Penalty, hukuman mati tak hanya memengaruhi orang yang dieksekusi, tetapi juga anak-anak yang sering kali dilupakan. Hukuman mati membawa beban emosional dan psikologis berat yang dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi mereka. Uni Eropa dan Dewan Eropa juga menyebut, anak-anak yang kehilangan orang tua karena eksekusi menderita kesedihan dan trauma yang mendalam. 

Trauma ini dapat terjadi pada setiap dan semua tahapan hukuman mati orang tua: penangkapan, persidangan, hukuman mati, tanggal eksekusi, dan pasca eksekusi. Siklus harapan dan kekecewaan yang berulang memiliki dampak yang panjang dan bisa menjadi hantu hingga dewasa.

Mereka yang menolak hukuman mati

Banyak pihak penganjur hak asasi manusia berteriak bahwa praktik hukuman mati telah merampas hak seseorang. Menurut mereka, keadilan tak terpenuhi saat perampasan hidup dan pelaku kejahatan dihancurkan. Hal ini sejalan dengan menguatnya gerakan abolisi atau penghapusan terhadap hukuman mati di tingkat internasional. 

Penghapusan hukuman mati ini juga menjadi salah satu penyebab turunnya eksekusi mati di dunia. Pada tahun 2016, terdapat 1.032 kasus eksekusi. Jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 993 eksekusi pada tahun 2017. Penurunan juga terjadi pada tahun 2018 sebesar 31 persen menjadi 690 eksekusi. Angka ini dicatat Amnesty Internasional sebagai angka terendah dalam dekade terakhir.

"Mengubah persepsi publik harus dari pemerintah, harus berani menjelaskan berdasarkan pendekatan yang lebih bersifat rasional, bahwa perkembangan negara-negara di dunia itu memperlihatkan kecenderungan penghapusan hukuman mati," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dikutip Kompas.

Baca Juga: Hilangnya Abu Jenazah Gandhi dan 'Stempel' Pengkhianat Untuknya

 

Dalam dinamika pembahasan RKUHP, Komnas HAM dalam laman resminya mencatat beberapa kemajuan positif guna mendorong diterapkannya prinsip-prinsip HAM terkait dengan praktik hukuman mati. Kemajuan tersebut tercermin dalam Pasal 111 (draf Juli 2018) yang memberikan peluang untuk tidak melaksanakan hukuman mati dan diberikan kesempatan untuk hukuman seumur hidup, yang diberikan melalui mekanisme masa percobaan 10 tahun. 

Kemajuan ini hadir dari buntunya berbagai upaya penghapusan praktik hukuman mati selama ini. Sehingga dibukannya kesempatan masa percobaan dapat menjadi harapan atas adanya penghormatan hak hidup.

Sementara itu, Amnesty International juga menyoroti sejumlah negara yang mengeksekusi orang di bawah 18 tahun. Beberapa negara juga menggunakan hukuman mati terhadap orang-orang difabel usai persidangan yang dianggap tak adil --yang jelas melanggar hukum internasional. 

"Seseorang bisa menghabiskan bertahun-tahun di penjara menunggu hukuman mati. Mereka tak tahu kapan akan dieksekusi dan apakah mereka memiliki kesempatan terakhir untuk melihat keluarga mereka," demikian pernyataan Amnesty International dalam laman resminya.

Mereka yang menjetujui hukuman mati

Hukuman mati pada era Kolonial. (Twitter/@denianggap)

Sejak abad ke-19 atau tepatnya di tahun 1870, pemerintah Belanda memberlakukan politik etis di Hindia-Belanda. Hingga kemudian terbentuk transformasi sistem peradilan, termasuk soal hukuman mati. Landasan itu masih terwariskan hingga kini.

Sebagian besar masyarakat Indonesia justru mendukung hukuman mati karena dipercaya dapat memberi efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan. Hal itu terbukti melalui survei yang dilakukan Indo Barometer tahun 2015, dengan hasil 84,1 persen mendukung hukuman mati, khususnya untuk kejahatan narkoba.

Selain itu dalam survei Litbang Kompas tahun 2017 juga menunjukkan 89,3 persen mendukung hukuman mati dengan alasan serupa, terutama untuk kejahatan terorisme. Padahal, menurut PBB dalam penelitian tahun 1998 dan 2005 tak menemukan bukti bahwa vonis hukuman mati akan menurunkan angka kejahatan.

"Keyakinan persepsi publik bahwa kejahatan bisa menurunkan kejahatan, bisa ditunjukkan oleh pemimpin politik dengan memperlihatkan kajian, penelitian ilmiah, bahwa itu keyakinan yang salah," kata Usman.

Baca Juga: Perjuangan Tanpa Kekerasan Mahatma Gandhi

 

Kendati demikian, Amnesty Internasional menganggap hukuman mati melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hak yang jelas dilindungi oleh Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948.

Amnesty menentang hukuman mati dalam semua kasus tanpa terkecuali, terlepas siapa yang dituduh, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, serta metode eksekusi. "Hukuman mati adalah gejala budaya kekerasan dan bukan sebuah solusi," dikutip dari laman Amnesty International, Kamis (10/10/2019).

Hukuman mati telah dihapus di separo negara dunia. Alasannya karena tak ada satu pun penelitian yang bisa mengaitkan hukuman mati dengan efek jera atau penurunan angka kriminalitas. Dari 193 negara anggota PBB, 173 sudah tidak melakukan hukuman mati. Pada tahun ini, eksekusi mati paling banyak dilakukan oleh China, Iran, Arab Saudi, Vietnam, dan Irak.

Infografik. (Ilham/era.id)

Tags : hukuman mati
Rekomendasi