Pada 17 Januari 2018, Jokowi melantik Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menjadi Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang mundur lantaran jadi calon gubernur Jawa Timur. Kini, Idrus sudah melepas jabatan Sekjen Golkar tapi mendapat tugas baru sebagai Koordinator Bidang Hubungan Kelembagaan Partai Golkar. Airlangga dan Idrus sama-sama jadi menteri dari Golkar yang merangkap tugas.
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Muradi, menilai kendornya aturan soal rangkap jabatan adalah cara Jokowi membatasi ruang gerak Golkar. Menurut Muradi, Jokowi akan rugi secara politik jika mengeluarkan Golkar dari kabinet karena bakal melakukan manuver pada Pemilu 2019.
“Dengan mengunci dua posisi (menteri) itu maka Golkar tidak akan punya peluang untuk melakukan manuver yang merugikan pemerintah,” ujar Muradi kepada era.id, Selasa (23/1/2018).
Muradi menilai, Golkar murupakan partai yang selalu ingin bersama penguasa. Pemerintah juga perlu dukungan Golkar karena jumlah kursinya di DPR sangat signifikan untuk mengegolkan suatu kebijakan.
“Golkar sekarang dimenangkan orang yang pro pemerintah. Beda kalau Airlangga tidak dikunci, mungkin dia akan punya ruang untuk (dalam tanda kutip) dibisiki yang aneh-aneh,” ungkap Muradi.
Lalu, Kata Muradi, Jokowi mengunci Golkar dengan cara mempertahankan Airlangga dan Idrus untuk menjaga faksi-faksi di tubuh Golkar bermanuver. Muradi menilai, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bisa menjadi motor manuver Golkar dengan cara memunculkan figur selain Jokowi pada Pilpres 2019.
“Pak JK kan masih punya ambisi walaupun bukan buat dirinya sendiri. Nah dengan kemudian mengunci orang-orang Golkar di pemerintahan, maka Pak JK juga akan kehilangan akses untuk ke situ,” ungkap Muradi.