Tiga 'PR' Besar untuk Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf

| 18 Oct 2019 11:05
Tiga 'PR' Besar untuk Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Jakarta, era.id - Periode pemerintahan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan berakhir pekan ini. Meski banyak yang merasa puas dengan kerja pemerintahan Jokowi selama lima tahun ini, bukan berarti mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak membawa pekerjaan rumah untuk diselesaikan di periode keduanya.

Berdasarkan hasil survei Parameter Politik Indonesia (PPI) ada dua hal yang dianggap sebagai kekuarangan dan menjadi masalah utama di pemerintahan Jokowi periode pertama ini, yaitu masalah ekonomi, penegakkan hukum, dan pemberantasan korupsi.

Baca Juga : What's On Today, 17 Oktober 2019

"Ekonomi, penegakkan hukum, dan pemberantasan korupsi menjadi tiga bidang dengan nilai terburuk," ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno di Kantor Parameter Politik, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019).

Ekonomi

Pada periode pertama, Jokowi hanya mendapatkan nilai 6,5 di bidang pembangunan ekonomi. Hal ini, kata Adi, berbanding terbalik dengan kesuksesnnya dalam membangun infrastruktur yang mendapat nilai 7,4. Dari hasil survei, sebanyak 26,5 reponden menyebut mahalnya harga kebutuhan pokok, kemiskinan, dan pengangguran masih menjadi kekurangan pemerintahan Jokowi di lima tahun pemerintahannya ini.

Selain itu, sebanyak 40 persen responden menilai masalah ekonomi menjadi hal yang paling mendesak untuk diselesaikan dan diprioritaskan oleh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke depan. Hal ini, kata Adi, karena pembangunan infrastruktur yang menjadi andalan Jokowi belum terasa dampaknya secara signifikan terhadap persoalan mendasar rakyat.

"Problem ekonomi yang masih sulit belum mampu terobati dengan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan gencarnya bantuan sosial di era kepemimpinan Joko Widodo," ungkap Adi.

Baca Juga : Ujaran Kebencian Lahir dari 'Rahim' Disparitas Ekonomi

Infografik (Ilham/era.id)

Sementara itu, politikus Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago menyebut permasalahan ekonomi yang dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur memang tidak langsung terasa di masyrakat. Perlu waktu jangka panjang sampai masyarakat benar-benar merasakannya.

"Infrastruktur ini banyak menghemat waktu dan otomatis akan mengurangi biaya. Tapi ini kan program jangka panjang, terasanya baru 5 atau 10 tahun lagi," kata Irma.

Baca Juga : Jokowi dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi yang Meleset

Penegakan hukum

Hasil survei terbaru PPI terkait evaluasi kinerja Jokowi menyebut, sebanyak 4,7 persen responden merasa masalah penegakan hukum menjadi salah satu masalah utama bangsa. Di penghujung masa jabatannya sebagai kepala negara, Jokowi dinilai kurang adil dan antikritik.

"Untuk penegagakkan dan kesetaraan hukum, pemerintahan Jokowi saat ini mendapat nilai paling rendah yaitu 6,3. Dan sebanyak 4,7 persen reponden menyebut hal ini menjadi masalah yang mendesak untuk diselesaikan di periode mendatang," kata Adi.

Adi mengatakan, banyak responden yang menilai pemerintahan Jokowi masih tebang pilih untuk masalah hukum, khususnya di dua bulan terakhir masa jabatan Jokowi. Masalah ini pun diamini oleh Irma. Kurangnya penegakkan hukum, menurutnya, karena saat ini rata-rata parpol berada di lingkaran pemerintahan.

Baca Juga : Cidro Janji Komitmen Pemberantasan Korupsi

Karenanya, ia mendukung adanya fungsi check and balance, jika tidak ada, bukan tidak mungkin parlemen jalanan menjadi kontrol pemerintahan ke depan. "NasDem menegaskan perlu oposisi supaya ada check and balance. Tidak nyaman kalau pemerintah tidak ada yang kontrol, bahaya," kata Irma.

Isu pemberantasan korupsi

Adi mengatakan isu pemberantasan korupsi secara konsisten masuk dalam lima besar masalah bangsa. Terlebih setelah DPR RI mengesahkan revisi UU KPK. Padahal, menurutnya, masalah korupsi cenderung tidak masuk dalam persoalan yang dianggap krusial. "Persoalan korupsi masih menjadi catatan penting," kata Adi.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 39,7 persen responden setuju bahwa revisi UU KPK berpotensi melemahkan kewenangan lembaga antirasuah. Sementara 25,2 persen reponden tidak setuju jika dianggap melemahkan.

Mereka yang mayoritas menganggap revisi UU KPK melemahkan lembaga antirasuah juga menolak pengesahkan revisi UU KPK. Sebanyak 44,4 persen responden tidak setuju langkah DPR dan Presiden Joko Widodo mengesahkan UU KPK yang baru.

Karenanya, kata Adi, tidak heran jika hasil survei menyebutkan banyak responden yang akhirnya mendesak Jokowi untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut revisi UU KPK.

Baca Juga : Belasan Tersangka Korupsi Ditetapkan Jelang Berlakunya UU KPK

Infografik (Ilham/era.id)

"Karena itu ada 47,7 persen masyarakat yang ingin Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK yang baru dan kembali menggunakan UU KPK yang lama," kata Adi.

Politikus NasDem, Irma Suryani Chaniago menilai permintaan publik mendesak Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu dapat berpotensi memakzulkan Jokowi sebagai presiden. "Jangan lupa, Perppu itu pintu masuk impeach. Terus ada yang bilang enggak mungkin, siapa yang bisa jamin," tegas Irma.

Sementara itu, Ketua Departemen Politik Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) Pipin Sopian menilai Jokowi tak kunjung menerbitkan Perppu KPK karena tak sejalan dengan keinginan para pimpinan partai politik pendukungnya. Ia juga menyinggung pernyataan Irma soal peluang impeachment atau pemakzulan presiden jika Perppu diterbitkan.

"Saya kira terlalu jauh untuk menghubungkan Perppu dengan impeachment presiden. Kecuali Pak Jokowi melakukan korupsi itu baru bisa," kata Pipin.

Tags :
Rekomendasi