Salah satu titik berat program Jokowi adalah program jaminan sosial seperti Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memberikan akses luas kepada masyarakat untuk berobat lewat kartu Indonesia Sehat (KIS). Tujuannya mulia, Jokowi ingin agar mereka yang mengalami penyakit katastropik atau penyakit berat tidak perlu sampai jatuh miskin ketika berobat ke Rumah Sakit.
Jokowi memang 'hobi' mengeluarkan kartu sakti macam KIS. Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan ada empat program lain dalam jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKJ), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).
"Bermanfaat bagi pekerja kita yang mengalami kecelakaan kerja hingga meninggal, dan pekerja yang mengalami PHK," katanya lewat keterangan tertulis.
Baca Juga: Masyarakat Manja dan Penyakit-Penyakit yang Bebankan BPJS
Kendati demikian pelaksanaan jaminan sosial pada Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla bukan tanpa masalah. Timboel mencatat ada pekerjaan rumah yang perlu dibenahi dari sisi regulasi, implementasi dan pembiayaan yang menyebabkan akses peserta terhadap manfaat jaminan sosial semakin terbatas.
Pada Program JKN misalnya, pada era pemerintahan Jokowi-Kalla, masalah utama program tersebut adalah soal defisit pembiayaan. "Akibat defisit ini ada beberapa regulasi dibuat yang menghambat akses peserta pada penjaminan JKN," katanya.
Menurut catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu nombok setiap tahun sejak lembaga itu berdiri pada 2014. Mirisnya, defisit BPJS terus melejit tiap tahun hingga pemerintah harus berpikir keras cara menambalnya mulai dari rencana kenaikan iuran hingga menghapus tanggungan layanan.
Infografik (Ilham/era.id)
Karena masalah tersebut, ada beberapa jenis obat yang tidak lagi ditanggung peserta JKN. Misalnya obat kanker usus besar atau Bevacizumab Cetuximab, akibatnya pasien kanker usus besar harus merogoh kocek sendiri untuk membiayai dua obat yang mahal tersebut.
Selain itu berdasarkan Pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden (Perpres) no. 82 Tahun 2018, pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang tidak lagi dijamin.
Pemerintah pun berpikir keras untuk mencari cara menambal defisit BPJS Kesehatan. Menurut timboel defisit pembiayaan dampaknya sangat besar karena menyebabkan BPJS Kesehatan berhutang triliunan ke Rumah Sakit (RS) rekanannya sehingga keuangan RS goyang untuk menutupi biaya operasional. Dampak dari masalah tersebut juga berefek domino kepada pelayanan pasien JKN, perusahaan obat dan alat kesehatan.
"Pemerintah harus segera mengambil alih persoalan ini, dan jangan biarkan para pembantunya nanti, di kabinet baru, mengulangi kebiasaan para pembantu sebelumnya yang senang berwacana dan berargumentasi di meja rapat tanpa berani mengeksekusinya," ujarnya.
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Selain itu, jaminan sosial ketenagakerjaan juga turut disorot oleh BPJS Watch. Seperti dijelaskan Timboel, salah satu masalahnya yakni soal beberapa regulasi operasional dibuat tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang tidak juga dilaksanakan oleh Pemerintah.
Diserahkannya pengelolaan Program JKK dan JKM bagi ASN yaitu ASN dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) kepada PT. Taspen dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 92 ayat (2) UU dan Pasal 106 ayat (2) UU ASN No. 5 Tahun 2014 tentang ASN serta Perpres no. 109 Tahun 2013 dan Pasal 75 ayat (2) PP No. 49 Tahun 2018. Bila mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut maka seharusnya Program JKK dan JKM bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Demikian juga Program JKK dan JKM bagi PPNPNS (Pegawai Pemerintah Non PNS/PPNS) seharusnya juga dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, bukan oleh PT. Taspen. Akibat ketidaksesuaian regulasi dan operasionalisasi ini maka banyak ASN dan PPNPNS yang mengalami kesulitan dalam pembiayaan ketika mengalami kecelakaan kerja, dan tentunya iuran 0,72% untuk JKM di Taspen akan berpotensi menyebabkan inefisensi APBN dan APBD mengingat iuran JKM di BPJS Ketenagakerjaan hanya 0,3%.
"BPJS Watch berharap Presiden Jokowi paska dilantik segera merespon dengan serius kajian dan surat KPK ini sehingga penyelenggaraan program jamsos kembali sesuai dengan tiga asas dan sembilan prinsip SJSN, dan seluruh pekerja, baik swasta maupun ASN dan PPNPNS, bergotong royong dan mendapatkan manfaat yang sama, seperti layaknya seluruh pekerja swasta maupun ASN dan PPNPNS bergotong royong di program JKN. Untuk jangka pendek, Pemerintah harus tetap memastikan pelaksanaan JKK dan JKm seluruh PPNPNS di BPJS Ketenagakerjaan, tidak boleh lagi ada upaya menarik-narik ke PT. Taspen," jelas Timboel.