Gempa Besar di Indonesia Meningkat Setelah Tsunami Aceh

| 02 Dec 2019 12:18
Gempa Besar di Indonesia Meningkat Setelah Tsunami Aceh
Sosialisasi bencana geologi (Iman Herdiana/era.id)
Bandung, era.id – Sejumlah daerah di Indonesia kerap di landa gempabumi. Peneliti mencatat, gempabumi yang sifatnya merusak cenderung terjadi pascagema dan tsunami Aceh. Sejak itu, gempa-gempa dengan kekuatan merusak bermunculan. Ada teori bahwa suatu gempa besar memicu gempa lainnya.

Menurut catatan Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, sejak gempa dan tsunami Aceh 2004, peristiwa gempa merusak berikutnya terjadi di Nias. Selanjutnya gempa merusak cenderung muncul di wilayah barat hingga timur Indonesia. Di wilayah barat bahkan kekuatan gempa rata-rata di atas magnitude 5.

Kepala Subbidang Mitigasi Gempabumi Wilayah Barat PVMBG Badan Geologi, Ahmad Solihin, bilang secara teori terbuka kemungkinan adanya “komunikasi” antara satu sumber gempa (patahan/sesar) dan sumber gempa lainnya.

Dalam ilmu geologi ada istilah static stress dan dynamic stress. Static stress merupakan guncangan yang terjadi di sekitar sumber gempa. Pada dynamic stress guncangan tersebut merambat ke sumber gempa lain. Karena itu, sesar gempa yang terkena energi gempa kemudian terpicu untuk melepaskan energi gempanya, walaupun energi tersebut belum tentu menghasilkan magnitude maksimumya.

Peneliti mencurigai komunikasi atau transfer energi gempa antarsumber gempa terjadi pada peristiwa gempa dan tsunami Aceh 2004 yang kemudian disusul gempa Nias. “Walaupun kita belum tahu apakah itu nyambung dari sana (Aceh), apakah komunikasi, atau sendiri-sendiri. Tapi secara teori bisa, meski harus dibuktikan,” terang Ahmad Solihin, saat ditemui Era.id, di Kantor PVMBG, Bandung, Kamis (29/11/2019).

Berdasarkan jumlah kejadian, gempabumi lebih sering terjadi di wilayah timur Indonesia, yakni dari Sulawesi ke timur sampai Papua. Ini dipicu karena sumber gempa di sana lebih kompleks dan aktif. Dalam setahun, jumlah gempa yang terjadi bisa tiga kali lipat dibandingkan jumlah gempa di wilayah barat (dari Kalimantan dan Jawa ke barat).

Hanya saja, kerentanan di wilayah barat lebih tinggi. Kerentanan ini berdasarkan jumlah kepadatan jumlah penduduk.

“Wilayah timur penduduknya tidak terlalu padat. Kalau di barat walaupun sumbernya sedikit tapi padat. Misalnya di Jawa, hampir sebagian besar penduduk Indonesia ada di Jawa. Jadi kalau ada gempa kecil saja itu berpotensi merusak,” terang Ahmad.

Wilayah barat juga memiliki sumber gempa besar yang disebut megathrust yang membentang dari wilayah Sumatera sampai ke selatan Jawa dengan zona penunjamannya di Nusa Tenggara. Sumber gempa ini terbagi dalam beberapa segmen. Masing-masing segmen bisa merilis kekuatannya seperti yang terjadi di Aceh, Nias, dan Jawa.

Peneliti memprediksi ada beberapa dari segmen megathrust yang belum melepas energinya. Masalahnya, ilmu geologi sejauh ini belum bisa memprediksi kapan pelepasan energi itu.

“Kita belum tahu kapan gempanya. Tapi potensinya sudah kita hitung, termasuk maksimal magnitudenya yang bisa mencapai 8 sekian, meski bisa juga lebih kecil dari itu,” katanya.

Dengan adanya resiko gempabumi tersebut, mitigasi bencana menjadi satu-satunya jalan. Dengan mitigasi, kerusakan dan korban bisa diminimalkan. Data PVMBG menunjukkan, sejak tahun 1990-2018 tercatat ada 176 gempabumi merusak dan 18 kejadian tsunami. Bencana geologi ini menyebabkan korban meninggal ratusan ribu orang.

Dari data tersebut, kejadian gempa yang diikuti tsunami paling banyak menimbulkan korban jiwa. Sementara penyebab kematian yang dipicu gempabumi (selain tsunami) lebih banyak disebabkan tertimpa reruntuhan bangunan (77 persen), likuifaksi atau pelulukan (1 persen), gerakan tanah (8 persen), dan kebakaran (4 persen).

Ahmad mengatakan, mitigasi bencana erat kaitannya dengan penataan ruang. Contohnya, pembatasan penggunaan ruang di daerah yang masuk zona rawan gempa bumi. Misalnya tidak mendirikan perumahan di sekitar patahan gempabumi. Upaya lainnya adalah membuat bangunan tahan gempa yang sesuai dengan standar.

“Ada istilah gempa tidak membunuh, yang membunuh bangunannya,” ujar Ahmad.

Tags : gempa
Rekomendasi