"Sedangkan kesehatan mental di musim wabah COVID-19 sama pentingnya dengan kesehatan fisik," kata ahli kesehatan jiwa, Teddy Hidayat dr Sp KJ (K), Rabu (1/4/2020).
Psikiater senior RS Melinda, Bandung, tersebut bilang respon masyarakat berbeda-beda dalam menghadapi wabah COVID-19. Mereka yang kurang menanggapi ancaman, mungkin akan sedikit mempraktikkan kebersihan atau pola hidup sehat. Kalaupun mereka sakit, mereka tidak tinggal di rumah sehingga memperparah penyebaran.
Sebagian masyarakat lagi, kata Teddy, ada yang merespons ancaman Covid-19 secara berlebihan, mereka menjadi sangat cemas dan berusaha keras menjaga diri mereka tetap aman. “Mereka mungkin menjadi xenofobik atau ketakutan yang irasional terhadap orang asing,” katanya.
Besarnya kecemasan akibat penyakit COVID-19 juga muncul karena belum ditemukannya obat atau vaksin penyakit yang disebabkan virus SARS COV 2 itu. Karena itu upaya pencegahan penularan hanya mungkin dilakukan dengan merubah perilaku; isolasi, jaga jarak sosial dan mencuci tangan dengan sabun. Namun perilaku ini ni menuntut kedisiplinan masyarakat.
Di sisi lain, besarnya angka kematian COVID-19 ditentukan oleh kualitas layanan kesehatan dan seberapa banyak tenaga ahli medis maupun fasilitas penunjangnya. Di China angka kematian berkisar 3,4 persen dan di Itali 7 persen dan di Indonesia, Teddy berharap semoga angka kematiannya tidak lebih tinggi.
Sementara studi psikososial COVID-19 masih terbatas. Namun secara umum, wabah ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19 mengalami depresi, kecemasan, kesedihan, ketakutan, kesepian, merasa ditinggalkan dan stigmatisasi.
Lanjut Teddy, karena itu pasien COVID-19 memerlukan pengelolaan yang menyeluruh termasuk kesehatan mental dan psikososialnya. Maka pasien COVID-19 memerlukan intervensi psikososial untuk menurunkan tingkat kecemasan dan kesedihan, meningkatkan kekebalan tubuh yang akhirnya mengurangi kematian.
Intervensi psikososial tersebut diperlukan terutama bagi mereka yang menjalani isolasi. Pasien yang menjalani isolasi dianjurkan untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman. Hubungan ini disarankan menggunakan telepon, bukan hanya SMS atau chat. Karena panggilan suara membuat pasien merasa lebih terhubung.
Pasien isolasi juga disarankan melakukan hal yang mereka sukai seperti mengaji, melukis, membaca atau musik, berlatih mengelola stres, latihan relaksasi, mindfulness atau pernapasan. Pasien diharapkan tetap optimis, terus melihat ke depan, buat rencana selama enam bulan ke depan.
Dengan latar belakang wabah COVID-19 yang dampaknya tidak kecil pada kesehatan mental masyarakat, Teddy menyebutkan sejumlah relawan siap memberikan layanan virtual kepada pasien isolasi COVID-19. Layanan ahli kesehatan mental secara virtual mulai 1 April 2020.
Layanan virtual ini terdiri dari pendampingan oleh relawan dengan Modul SeMeDi (Selalu Mendampingi Dirimu) pada pasien COVID–19; layanan Art psychotherapy-ITB pada pasien COVID–19; intervensi Psikososial melalui Aplikasi pada Pasien COVID-19.
Untuk mengakses layanan pendampingan ini, pasien diharapkan mengirim pesan ke melalui Instagram ketik.hasaka atau bisa menghubungi hotline 081.827.2255. “Semoga sumbangsih yang kami berikan menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam mengatasi bencana kemanusiaan yang tengah melanda masyarakat,” kata Teddy.
Layanan virtual sendiri hasil kerja sama berbagai organisasi atau lembaga, antara lain, TPKJM Pemerintah Provinsi Jawa Barat, ITB, LPPM ITB, PusdiInfeksi FK UNPAD/RSHS, RS Melinda 2, Klinik Utama Surya Medika Jatayu 76, Lundbeck Export A/S, dan Komunitas DEKAP dan RUANG TENGAH.