Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof. Dr. Wayan P. Windia, dalam webinar yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Selasa (12/5) mencontohkan, masyarakat hukum adat yang di Bali lazim disebut desa adat, melakukan berbagai cara untuk mencegah penyebaran COVID-19.
"Peran desa adat untuk cegah COVID-19, yakni melakukan hal-hal sekala atau aktivitas nyata dan niskala yakni hal-hal yang terkait dengan alam semesta ini," katanya.
Sekala juga termasuk cara meningkatkan perekonomian warga desa adat dengan memberikan sumbangan sembako yang diambil dari dana sosial lembaga perkreditan desa milik desa adat.
"Aktivitas niskala untuk menghormati alam, apabila ada sesuatu di dalam diri kita, maka juga ada sesuatu di alam ini, atau sebaliknya, jika alam sakit, diri kita juga mungkin merasakan yang sama karena unsurnya sama," ujarnya.
Untuk mencegah dan memohon agar pandemi COVID-19 ini segera berakhir, masyarakat adat juga melakukan upacara untuk mengembalikan keseimbangan alam.
Menurut Windia, ada atau tidaknya kaitan langsung upaya adat tersebut dengan tingkat kesembuhan pasien COVID-19 di Bali, belum teruji secara ilmiah. Namun, yang pasti tingkat pasien sembuh di Bali sangat tinggi.
"Hasilnya seperti apa. Saya melihatnya cukup berhasil dan Wayan Koster juga bilang tingkat kesembuhan COVID-19 di Bali tertinggi. Apa ini karena sekala dan niskala, itu biarkan masing-masing menjawab," katanya.
Sedangkan masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga melakukan upacara adat untuk mencegah meluasnya penularan COVID-19.
Guru Besar Hukum Adat Universitas Jember (UNEJ), Prof. Dr. Dominikus Rato, bilang, berdasarkan hasil penelitian lapangan, untuk mengusir virus korona baru yang dianggap sebagai roh jahat, masyarakat adat melakukan berbagai langkah.
Masyarakat hukum adat menggantung daun lontar pada ranting bambu (teong koli wojong) dan diletakkan pada pintu masuk desa untuk menghalau roh jahat pembawa virus. Setelah meletakkan sesajen di masing-masing lepo, mereka menguburkan dagu anjing sebagai simbol bahwa roh jahat pembawa korona diusir oleh anjing.
"Mereka itu melakukan ritual adat. Ada ritual, karena mereka menganggap bahwa bumi sebagai ibu bumi, alam sebagai kirohani sudah dirusak oleh COVID-19 dan mereka sekarang siap untuk berperang," katanya.
Menurut Rato, ritual-ritual masyarakat hukum adat di NTT tersebut pada umumnya seperti di awal perang, mereka menganggap bahwa pandemi adalah perang. "Upacara-upacara adat ini, upacara-upacara persiapan perang untuk kembalikan keseimbangan alam," katanya.
Masyarakat adat di sana juga menanamkan gotong royong dan berbagi, meskipun kondisinya juga tidak sangat berada. Bahkan di suku Kajang di Bulukumba, pemimpinnya sangat memerhatikan kesejahteraan warganya.
"Di masyakat Kajang, ada prinsip kepemimpinan bahwa jika miskin maka yang pertama miskin adalah pemimpinnya. Seandainya ditakdirkan untuk kaya, maka yang terakhir kaya adalah pemimpinnya," kata dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Laksanto Utomo, menyinggung komitmen masyarakat hukum adat di Samin, Kendeng, Jawa Tengah dalam menjaga kelestarian alam di tengah pandemi COVID-19 yang disebut sebagai Sedulur Sikep.
"Sedulur Sikep ini masyarakat tani, tapi saat ini mereka terkenal atas penolakan pabrik semen di sekitar Gunung Kendeng. Sedulur Sikep ini pada prinsipnya mejaga kelestarian alam. Jadi menganggap bumi layakya ibu yang harus dijaga dan dilindungi agar tetap lestsari, tapi pada dasarnya pemerintah saat ini ingin eksploitasi Gunung Kendeng ini," ujarnya.
Masyarakat adat Samin juga disebut percaya pandemi muncul sebagai reaksi alam terhadap apa yang dilakukan manusia.
"Yang dilakukan Ibu Pertiwi, sebagai pertanda bumi telah memulai mengadili. Mereka menyatakan, bahwa wabah korona membuat bingung semua kalangan dan memberikan kesulitan mendapatkan bahan pangan,” kata Laksanto.
Sejak awal terbukti bahwa masyarakat Samin percaya pandemi terkait dengan bahan pangan. Jika pandemi ini terus berlanjut, bisa dipastikan masyarakat bawah akan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhannya. Karena itulah, masyarakat Samin mendesak semua pihak menjaga keseimbangan alam.