Kepala Balitbangtan Fadjri Djufry di Jakarta, Sabtu mengatakan, hingga saat ini, banyak negara yang berlomba-lomba menemukan antivirus korona, begitupun di Indonesia.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga (K/L), tambahnya, terus mencoba mencari cara dan menemukan obat untuk mencegah serta menangani virus korona (COVID-19) yang masih mewabah di Indonesia.
"Ini bukan obat oral, ini bukan vaksin, tapi kita sudah lakukan uji efektivitas, secara laboratorium, secara ilmiah kita bisa buktikan," katanya melalui keterangan tertulis, Minggu (5/7/2020).
Menurut dia, paling tidak mengembangkan antivirus dari eucalyptus tersebut bagian dari upaya Balitbangtan untuk mendukung penanganan pandemi virus korona atau COVID-19 di Tanah Air.
"Para peneliti di Balitbangtan ini juga bagian dari anak bangsa, mereka berupaya keras menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsanya, semoga hal ini mampu menjadi penemuan baik yang berguna bagi kita semua," ujar Fadjry.
Minyak eucalyptus sudah turun menurun digunakan orang dan sampai sekarang tidak ada masalah.
Sudah puluhan tahun lalu orang mengenal eucalyptus atau minyak kayu putih, meskipun berbeda sebenarnya, tetapi masih satu famili hanya beda genus di taksonomi.
Fadjry menyatakan Kementerian Pertanian secara resmi telah meluncurkan inovasi antivirus berbasis eucalyptus, bahkan produk Balitbangtan itu telah mendapatkan hak patennya.
Selain mematenkan produk tersebut, Kementan juga menggandeng pihak swasta yakni PT Eagle Indo Pharma untuk pengembangan dan produksinya.
Penandatanganan perjanjian lisensi formula antivirus berbasis minyak eucalyptus antara perwakilan Balitbangtan dan PT Eagle Indo Pharma (Cap Lang) dilaksanakan di Bogor pada pertengahan Mei 2020.
Eucalyptus, lanjutnya, selama ini dikenal mampu bekerja melegakan saluran pernapasan, kemudian menghilangkan lendir, pengusir serangga, disinfektan luka, penghilang nyeri, mengurangi mual, dan mencegah penyakit mulut.
Menurut Kabalitbangtan, minyak atsiri eucalyptus citridora dapat menginaktivasi virus avian influenza (flu burung) subtipe H5N1, gammacorona virus, dan betacoronavirus sehingga mempunyai kemampuan antivirus.
Penemuan tersebut sebelumnya melalui uji molecular docking dan uji in vitro di Laboratorium Balitbangtan.
Ia menjelaskan laboratorium tempat penelitian eucalyptus dilakukan di laboratorium keselamatan biologi level 3 atau biosavety level 3 (BSL 3) milik Balai Besar Penelitian Veteriner.
Kementan juga sudah melakukan penelitan sejak 30 tahun lalu dan tak asing dalam menguji golongan virus korona seperti influenza, beta korona dan gamma korona.
"Setelah kita uji ternyata Eucalyptus sp yang kita uji bisa membunuh 80-100 persen virus mulai dari avian influenza hingga virus korona model yang digunakan. Setelah hasilnya kita lihat bagus, kita lanjutkan ke penggunaan nanoteknologi agar kualitas hasil produknya lebih bagus," katanya.
Dalam berbagai studi dikatakan, obat ini hanya cukup 5-15 menit diinhalasi akan efektif bekerja sampai ke alveolus.
Dalam riset Balingbangtan dengan konsentrasi 1 persen sudah cukup membunuh virus 80-100 persen.
Bahan aktif utamanya, terdapat pada cineol-1,8 yang memiliki manfaat sebagai antimikroba dan antivirus melalui mekanisme M pro.
M pro adalah main protease (3CLPro) dari virus korona yang menjadi target potensial dalam penghambatan replikasi virus korona.
Penelitian menunjukkan eucalyptol ini berpotensi mengikat protein Mpro sehingga menghambat replikasi virus.
"Manfaat tersebut dapat terjadi karena 1,8 cineol dari eucalyptus disebut eucalyptol dapat berinteraksi dengan transient receptor potential ion chanel yang terletak di saluran pernapasan," beber Fadjry.