DPR Singgung Rumah Sakit 'Nakal', Menkes Jawab Soal Penyerapan Anggaran

| 16 Jul 2020 09:05
DPR Singgung Rumah Sakit 'Nakal', Menkes Jawab Soal Penyerapan Anggaran
Ilustrasi tes COVID-19 (Dok. Humas Jabar)
Jakarta, era.id - Badan Anggaran (Banggar) DPR menyinggung adanya rumah sakit 'nakal' di beberapa daerah karena secara sepihak menyatakan pasien posif terjangkit COVID-19 demi mendapatkan insentif. Hal tersebut diungkapkan Ketua Banggar DPR Said Abdullah saat rapat kerja dengan pemerintah terkait pembahasan laporan APBN semester I 2020, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7/2020).

"Ada kenakalannya juga rumah sakit, tidak COVID-19 dinyatakan COVID-19," ungkap Said.

Dia lantas mencontohkan salah satu kasus pasien pengidap diabetes yang sebelum ada wabah virus korona kerap cuci darah. Tapi, sejak pandemi COVID-19, nyaris tidak pernah lagi ke rumah sakit.

Lantas suatu ketika pasien diabetes tersebut terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kritis. Tak lama dirawat, pasien tersebut meninggal dan pihak rumah sakit menyatakan penyebab meninggalnya karena terjangkit COVID-19.

"Keluarga tidak terima. Sampai dua minggu mau masuk pengadilan, akhirnya rumah sakit nyerah, oh iya pak bukan (meninggal karena) COVID-19," kata Said.

Said mengatakan, kenakalan rumah sakit yang mengklaim seorang pasien terjangkit virus korona dialami tetangganya. Kejadian tersebut ternyata sudah banyak terjadi di beberapa daerah baik di Pulau Jawa maupun di Sumatera dan provinsi lainnya. Politisi PDIP ini menyebut penyebab banyaknya rumah sakit yang nakal lantaran tergiur insentif dalam jumlah besar dari pemerintah.

Baca juga: Dalam Hitungan Hari, Jumlah Positif COVID-19 Indonesia Bakal Lampaui China

"Telisik punya telisik, anggaran kalau dinyatakan mati karena COVID-19 lebih besar. Anggarannya Rp90 juta, ada yang nyebut Rp45 juta," ucap Said.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang hadir dalam rapat kerja tersebut mengatakan, memang sangat berhati-hati untuk pembayaran jasa rumah sakit di saat pandemi COVID-19. Hal itu, untuk menghindari moral hazard.

"Pembayaran jasa rumah sakit tadi kalau kita mengacu pada efektifitas, kita juga hati-hati sekali karena kita menyangkut moral hazard dan itu harus kami pegang teguh," kata Terwan.

Selain itu, Terawan juga menjelaskan penyebab serapan anggaran yang masih rendah antara lain lantaran jumlah pasien yang masih sedikit. Dia mengatakan realisasi anggaran ini berbeda dengan belanja modal dan barang.

"Kalau penyerapan kurang kan berarti pasiennya sedikit. Santunan juga kalau penyerapannya kurang berarti yang meninggal sedikit, untuk tenaga kesehatan," ungkap Terawan.

Sebaliknya, serapan anggaran kesehatan COVID-19 akan banyak jika memang pasien yang sakit dan tenaga medis yang meninggal dunia lebih banyak. Dengan kata lain, serapan anggaran tergantung pada perkembangan kasus COVID-19 di tanah air.

Sementara insentif untuk tenaga kesehatan, Terawan menjelaskan anggaran yang ada terbagi dua tapi dipastikan akan tepat sasaran. Adapun rinciannya untuk tenaga kesehatan pusat sebesar Rp1,9 triliun dan Rp 3,7 triliun untuk tenaga medis daerah. Meski demikian, dia akan terus berusaha dan berjuang agar penyerapan anggaran kesehatan penanganan COVID-19 tetap bisa berjalan dengan baik.

"Kami juga tidak ingin lepas dari akuntabilitas dan menjaga efektivitas anggaran," katanya.

Untuk diketahui, realisasi belanja kesehatan untuk penanganan pandemi COVID-19 baru sebesar Rp4,48 triliun per 8 Juli 2020. Jumlah tersebut setara 5,12 persen dari total dana yang dialokasikan sebesar Rp87,55 triliun.

 

Tags : covid-19
Rekomendasi