Mengenai penyebaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dalam Pasal 309 dan 310 misalnya. Selain itu, ada juga Pasal 771, 772 dan 773 tentang Tindak Pidana Penerbitan dan Percetakan yang memuat substansi mengkhawatirkan.
Kemudian, gangguan dan penyesatan proses pengadilan dalam Pasal 328 dan 329; serta membuat, mengumpulkan, menyimpan, membuka rahasia negara dan pembocoran rahasia negara dalam Pasal 228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238 dan 239.
Wakil Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI), Revolusi Riza melihat sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi tugas dan fungsi pers.
"Misalnya penyebaran berita bohong. Sebenarnya siapa yang berhak untuk mendefinisikan berita bohong itu?" ungkap Revolusi di Kantor AJI, Kalibata Timur, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/2018).
Padahal, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah mengakomodasi langkah yang dapat diambil oleh pihak yang dirugikan dengan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan pers.
"Dewan pers yang akan memutuskan apakah ini berita bohong atau tidak, kalau-kalau misalkan terjadi sengketa pemberitaan," kata Riza.
Ditemui di kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyebut berbagai rumusan pasal tersebut dapat mematikan mekanisme sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebab, pasal tersebut memfasilitasi orang-orang yang merasa keberatan dengan pemberitaan suatu media untuk dapat melakukan penuntutan secara pidana. Padahal, menurut Wenseslaus, mekanisme melalui dewan pers telah berjalan dengan baik selama ini.
"RKUHP ini membuat UU Pers menjadi lumpuh, mencampur baur antara konten yang diproduksi media kayak kita dan informasi yang peroleh publik dari perusahaan teknologi,” kata Wenseslaus.
Tiga poin sikap koalisi
Lebih lanjut, Koalisi Pembela Kebebasan Berekspresi dan Kemerdekaan Pers yang terdiri dari LBH Pers, AJI Indonesia, AJI Jakarta, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Remotivi, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan AMSI menyatakan sikap dalam tiga poin:
1. Mendesak pemerintah dan DPR menghormati jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sudah diatur dalam Konstitusi, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam melakukan perumusuan atas Pasal-pasal RKUHP.
2. Meminta pemerintah dan DPR mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.
3. Meminta pemerintah dan DPR mengedepankan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Khususnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers, dalam membuat rumusan dan ketentuan dalam RKUHP.