Saat itu tidak banyak pihak sekutu yang menyadari jika di balik wilayahnya yang kecil, Iwo Jima dianggap sebagai benteng pertahanan terbaik yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa di kedua belah pihak. Invasi Amerika Serikat terhadap Iwo Jima ini berawal dari kebutuhan AS akan sebuah basis udara dan laut yang dekat dari wilayah administratif Jepang dan terletak 1046 kilometer dari Tokyo.
Pada misi pertamanya, militer Amerika Serikat mendarat di Pulau Saipan pada awal Februari 1945 untuk melakukan pemboman terhadap wilayah Jepang dengan menggunakan pesawat B-29. Akan tetapi, militer AS melihat pemboman tersebut tidak efektif karena jarak antara Pulau Saipan dan Pulau Iwo Jima masih terlampau jauh. Satu-satunya jalan, merebut Pulau Iwo Jima dari militer Jepang.
Dipandang dari perspektif Jepang, pertempuran Iwo Jima merupakan bentuk pembelaan negara Matahari Terbit atas wilayah terluarnya. Pulau Iwo Jima sangat dibutuhkan Jepang sebagai radar utama untuk mengetahui sasaran yang dituju pesawat B-29 milik AS. Radar tersebut mampu memberikan sinyal dengan rentang waktu dua jam sebelum bom mencapai Tokyo.
Perebutan Iwo Jima
Tidak mudah bagi militer AS untuk merebut Iwo Jima. Kondisi geografis yang ekstrim, menyulitkan mereka untuk merebut pulau gunung api yang memiliki berbagai lubang uap di sekitarnya itu. Sebaliknya, kondisi tersebut dimanfaatkan militer Jepang untuk membangun benteng bawah tanah sepanjang 5.000 meter. Inilah yang menjadi penyebab kegagalan AS membombardir Iwo Jima.
Pertempuran utama antara AS dan Jepang akhirnya terjadi pada 19 Februari 1947. Dipimpin oleh Holland Smith dengan 70.000 marinir, AS berhasil memenangkan perang dengan jumlah korban tewas 6.821 dan korban luka 19.217. Sedangkan militer Jepang yang dipimpin oleh Tadamichi Kurabayasi bersama 22.060 tentaranya harus menerima kekalahan dengan total korban tewas sebanyak 21.844 dan 216 orang tertangkap.