“Kami buruh migran Indonesia menyatakan protes kepada KPU dan DPR RI, karena hak memilih kami dalam Pilkada 2018 diabaikan,” kata Koordinator Aku Indonesia Nur Meliani, dalam pernyatan tertulis, Senin (26/2/2018).
Nur menyebutkan, buruh migran juga memiliki hak memilih kandidat kepala daerah sesuai Undang-Undang No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI). Dalam UU tersebut dinyatakan hak suara dalam pemilu merupakan salah satu bagian dalam melindungi buruh migran, yang akan diurus pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, hingga desa.
“Bagi kami, warga negara Indonesia dapat memberikan suara dalam proses pemilihan umum, termasuk dalam pilkada merupakan hal yang penting,” Ungkap Nur.
Para buruh migran berharap dengan mendapatkan hak memilih mereka dapat berkontribusi menentukan pemimpin yang memperjuangkan aspirasi warganya.
“Kami percaya hak politik kami yang dijamin Undang-Undang Dasar tidak dapat diabaikan hanya karena persoalan teknis semata,” ujarnya.
Selain soal jaminan hak pilih para buruh migran, keterwakilan perempuan dalam pilkada juga masih rendah. Padahal menurut Koordinator Asosiasi Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti, keterwakilan perempuan sangat diperlukan agar demokrasi tidak mengalami defisit.
Pada Pilkada 2018, hanya ada 101 perempuan atau sekitar 8,85 persen dari 1.140 calon kepala daerah di 171 daerah penyelenggara pilkada.
Lena menyinggung kesadaran partai politik akan pentingnya melibatkan perempuan dalam pengambilan suatu kebijakan masih rendah. Menurutnya, syarat keterwakilan perempuan yang mengharuskan sekurangnya 30 persen pada kepengurusan partai tingkat pusat semata-mata hanyalah upaya partai untuk lolos menjadi peserta pemilu.