Bahaya Hoaks

| 06 Mar 2018 06:44
Bahaya Hoaks
Ilustrasi (Mia Kurniawati/era.id)
Jakarta, era.id - Ratusan laporan terkait konten ilegal, mulai dari hoaks, radikalisme, pelanggaran keamanan informasi hingga ujaran kebencian diterima oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejak Januari 2018 hingga saat ini.

Sebuah catatan yang menggambarkan bagaimana ngerinya belantara sosial media. Lebih mengerikan lagi jika menarik mundur catatan sepanjang tahun 2017. 

Dalam periode itu, tercatat 796.237 laporan terkait konten hitam. Jika dipetakan platform to platform, Facebook adalah platform paling banyak digunakan untuk menyebar konten hitam dengan catatan 237 aduan. Setelahnya adalah Instagram, 217 aduan, YouTube (73) dan Twitter (53).

Hoaks adalah salah satu jenis konten ilegal yang paling mengerikan. Ancaman hoaks dapat menimbulkan bahaya yang bervariasi. Mulai yang sifatnya ringan hingga yang berat.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) --sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada perlawanan terhadap sebaran hoaks-- mengklasifikasi bahaya Hoaks berdasar luasan dampaknya.

Hoaks yang ringan, menurut Mafindo adalah ketika hoaks memicu friksi di kalangan keluarga, pertemanan hingga lingkup internal dalam sebuah institusi, kantor atau sekolah misalnya.

"Ringan itu ketika hoaks membuat friksi di keluarga, pertemanan. Ada yang sampai left group, ada yang saling blokir karena ada yang termakan hoaks," ungkap Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho kepada era.id.

Bahaya hoaks yang lebih berat, menurut Aji --sapan akrabnya-- adalah ketika hoaks menimbulkan konflik dalam lingkup masyarakat luas hingga berpotensi pada ancaman terhadap kualitas demokrasi bangsa.

Ekosistem penyebaran hoaks

Aji menekankan bagaimana media sosial berperan sebagai ekosistem penyebaran hoaks yang paling mengancam. Tak main-main, kawan. Sebaran hoaks lewat media sosial beberapa kali menyebabkan hilangnya nyawa.

Masih ingat sebaran pamflet digital mengatasnamakan Mabes Polri yang menyebut banyaknya penculik anak yang menyamar menjadi gelandangan, pemulung, bahkan orang gila? 

Pada Maret 2017, isu tersebut sempat ramai. Disebar secara tak bertanggung jawab oleh satu akun media sosial ke akun-akun media sosial lain, dari sebuah platform media sosial ke platform-platform lainnya.

Dampak dari pesan berantai yang belakangan diklarifikasi sebagai hoaks itu sangat konyol. Maman, pria berusia 53 tahun di Kalimantan Barat tewas di tangan warga yang mencurigainya sebagai penculik anak.

Padahal, kala itu, perjalanan Maman ke Desa Amawang, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah adalah untuk menjenguk cucunya yang tengah sakit. Ironis!

Maman bukan satu-satunya yang tewas karena hoaks. Di belahan Nusantara lain, sejumlah orang, secara tak langsung tewas karena hoaks. Tak terdeteksi jumlahnya. 

Sejumlah konflik horizontal, dikatakan Aji dipicu oleh hoaks. Dari konflik-konflik itu, banyak orang yang akhirnya mati di tangan saudara sebangsa. Gilanya, kebanyakan konflik justru dipicu oleh masalah sepele.

"Media sosial dikotori hoaks yang membuat masyarakat bertengkar untuk hal yang tidak penting yang menimbulkan permusuhan ... Lebih parahnya lagi perselisihan di media sosial yang menimbulkan konflik horizontal yang memiliki latar belakang konflik," tutur Aji.

Musim hoaks tumbuh subur

Ibarat siklus alam raya, tahun politik adalah musim di mana hoaks tumbuh subur, bagai jamur di musim hujan.

Masuk tahun politik, produksi hoaks makin banyak. Tak terpungkiri, sebab Mafindo mencatat, bahwa sebagian hoaks yang beredar adalah kebohongan terkait dengan agenda-agenda politik praktis.

Hoaks dalam politik ini adalah barang klasik. Dibuat oleh pemegang pion hitam untuk menghajar pemain lain pemegang pion putih di sisi seberang papan.

Tapi, kenyataannya, an oldie is a goodie, my friend! Cara klasik tetap jadi cara paling oke memang.

"Sebagian besar hoaks beredar lebih banyak terkait politik. itu sudah pasti akan meningkat. Itu sudah pasti, tren itu akan meningkat," kata Aji.

Kata Aji, hoaks politik juga tak kalah berbahaya. Selain nyawa --yang mungkin terjadi akibat konflik akibat perbedaan pandangan politik, kualitas demokrasi jadi taruhannya, cing!

Jadi, mulai sekarang kayaknya memang harus lebih bijak dan cerdas dalam menerima dan menyebar informasi, ya!

Terminologi hoaks (Infografis: Rahmad Bagus/era.id)

Rekomendasi