"Tugas kami kan patroli siber 24 jam. Untuk memelihara keamanan. Apalagi kontestasi Pilkada 2018 mulai panas. Kami perlu inisiasi cooling system. Salah satu cooling system adalah penegakkan hukum agar ada efek kejut," ujar Iqbal saat dihubungi era.id, Rabu (7/3/2018).
Iqbal berharap penangkapan MCA bisa memberi efek kejut ke sindikat lain. Untuk itu ia meminta kelompok sejenis itu tidak coba-coba menyebar informasi bohong yang bisa memecah belah bangsa dengan memutarbalikkan fakta untuk kepentingan pribadi, golongan atau apapun. Ia juga memastikan penangkapan ini bukan aksi tebang pilih.
"Polri murni melakukan penegakkan hukum, kita tidak ikut menendang siapa pun. Murni memelihara keamanan masyarakat," tegasnya.
Patroli siber adalah kunci
Patroli Siber Mabes Polri setiap harinya mengungkap 10 akun sosial media yang menjadi sumber berita palsu. Dalam sebulan ada sekitar 320 akun yang diselidiki Polri. Namun bukan berarti patroli siber merupakan pekerjaan yang ringan. Jumlah pengguna media sosial Indonesia yang mencapai angka ratusan juta menjadi rintangan sendiri dalam patroli siber.
"Jika ada indikasi (menjadi sumber berita palsu) kita akan telusuri akun tersebut ke tiga bulan atau satu tahun sebelumnya," lanjut Iqbal.
Meski tidak merinci teknologi yang digunakan untuk mengawasi akun sosial media tersebut, Iqbal pastikan teknologi yang ada mampu mengawasi konten, kata kunci, tanda pagar dan topik yang ada di media sosial. Selain itu, peran masyarakat hingga influencer juga besar untuk menangkal berita palsu yang tersebar.
"Pak Kapolri membentuk Satgas Nusantara. Di dalam itu banyak sub satgas. Ini bermaksud untuk mereduksi potensi konflik Pilkada. Menggandeng masyarakat, tokoh dan influencer untuk bicara," tandasnya.
Namun tidak semua pelanggaran bisa ditindak langsung. Polisi bisa menindak langsung pelanggaran SARA, hoaks dan hate speech. Tapi untuk pencemaran nama baik harus ada laporan dulu dari korban yang merasa tercemar.
Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sama dengan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, yakni pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
(Infografis/era.id)