Dan sebagaimana telah dibahas dalam artikel Cara Kerja Media Sosial dalam Penyebaran Hoaks setiap platform media sosial memiliki karakteristik tersendiri.
Facebook dengan fitur grup dengan aksesibilitas apik, Twitter dengan konsep kicauan yang bebas spam dan Instagram dengan keunggulan konten visualnya.
Para pengembang platform media sosial bukannya tak menyadari bahwa produk mereka telah banyak disalahgunakan. Dan mereka sejatinya tak tinggal diam.
Fitur anti-hoaks
Facebook misalnya, yang pada Februari lalu menguji coba fitur tombol downvote di kolom komentar unggahannya. Fitur itu memungkinkan para pengguna Facebook menyembunyikan sebuah komentar yang mengganggu dan menyesatkan. Namun, fitur tersebut baru diuji coba di Amerika Serikat.
Sebelumnya, Facebook juga pernah membuat fitur disputed, yakni fitur verifikasi berita oleh pihak ketiga. Facebook bekerja sama dengan pihak jurnalis, asosiasi pers dan situs khusus penjaring berita palsu seperti Snopes, ABC News dan The Associated Press.
Namun, di akhir tahun 2017, fitur itu dicabut dan digantikan dengan fitur related article. Sayangnya, fitur itu tidak tersedia di Indonesia.
CEO Facebook, Mark Zuckerberg sadar betul media sosial turut berkontribusi besar dalam penyebaran hoaks. Pada 2016, Zuckerberg pernah meminta maaf lantaran algoritma Facebook yang dituding mengakomodir kepentingan para penyebar hoaks.
“Kami menangani misinformasi dengan serius,” kata Zuckerberg dalam sebuah postingan Facebooknya di tahun 2016.
Platform besar lainnya, Twitter malahan telah sejak lama mengantisipasi segala kejahatan siber lewat media sosial dengan mempersiapkan fitur BRIM (Block, Report, Ignore dan Mute). Dengan fitur itu, para pengguna Twitter dapat dengan leluasa mengatur konten yang masuk ke lini masa mereka hanya dengan menekan perintah mute.
Dalam kontrol konten negatif, Twitter mengandalkan partisipasi penggunanya lewat laporan. Berdasar laporan itu, Twitter akan menindaklanjuti dengan menghapus konten hingga menonaktifkan akun yang melanggar ketentuan pengguna.
Selain dua media sosial di atas, Google sebagai perusahaan teknologi penyedia jasa dan produk internet juga punya cara menangkal hoaks. Dalam produk mesin pencarinya, Google menyediakan fitur untuk melaporkan berbagai konten negatif dan ilegal, termasuk berita hoaks.
Fitur itu diletakkan di bawah kolom prediksi pada pencarian kata kunci yang bertuliskan "Report Inappopriate predictions". Dengan menekan tombol itu, pengguna dapat membuka perintah untuk melaporkan prediksi kata yang merujuk pada berita hoaks.
Karya anak negeri
Upaya memberantas hoaks di media sosial tak hanya dilakukan oleh Facebook, Twitter dan Google. Di dalam negeri, kekhawatiran terhadap sebaran hoaks juga membumi. Ismail Fahmi, seorang anak bangsa yang juga pakar teknologi informasi (IT) jebolan Universitas Gronigen, Belanda menciptakan sebuah karya yang dinamakan Drone Emprit.
Drone Emprit adalah sebuah sistem yang digunakan untuk memonitor dan menganalisa aktivitas media online dan media sosial berbasis teknologi big data. Sistem bernama resmi Media Kernel itu bekerja dengan merekam relasi antar user di beberapa media sosial berdasar isu yang hendak dipantau.
Dari relasi tersebut, sistem akan menangkap berbagai unsur yang terkait dengan isu yang dilemparkan, termasuk aktor-aktor yang berada di balik penyebaran isu beserta kecenderungan sentimen mereka terhadap isu tersebut. Apakah sang aktor berada di pihak pro, kontra atau netral.
Kemampuan teknologi itu biasa disebut Natural Learning Processing (NLP). Output dari Drone Emprit ini dapat menyajikan sumber dari semua isu yang diminta. Dengan segala keandalan sistem yang ditawarkan, pencarian aktor intelektual hoaks akan lebih mudah dipetakan dengan program ini.
Infografis (era.id)