Modal politik Jokowi untuk bertarung pada pemilu tahun depan sudah lebih dari cukup, mencapai 52,21 persen jumlah kursi di DPR saat ini. Jumlah ini belum dihitung PKB dan PAN, yang masuk barisan pendukung pemerintahan tapi belum mendeklarasikan dukungan.
Selain lima partai di DPR yang sudah mendeklarasikan dukungan pada Jokowi, ada tiga partai baru yang bakal mendukung dan membantu pemenangan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pada Pemilu 2019. Mulai dari Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dari delapan partai pendukung Jokowi, hanya PKPI yang gagal lolos verifikasi partai politik peserta Pemilu 2019.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mengatakan besarnya dukungan politik Jokowi memungkinkan untuk mencari figur di luar partai politik sebagai bakal cawapresnya. Meski bisa melengkapi, hal itu harus dibahas dan disetujui partai pendukungnya.
"Ya, Jokowi kan dari tokoh politik. Tapi di titik tertentu, persentase 20 persen mempertimbangkan partai koalisi, 80 persen tergantung dari pilihan Jokowi sendiri," kata Arie kepada era.id, Rabu (14/3/2018).
Secara terpisah, Kepala Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Kuskridho Ambardi, mengatakan Jokowi bisa saja mengambil figur di luar politikus sebagai cawapres selama cocok dan bisa melengkapi. Jika mengambil figur muda, akan lebih baik untuk Jokowi karena bisa menarik suara milenial yang jumlahnya sangat besar pada Pemilu 2019.
"Tergantung kecocokan sama Pak Jokowi ya, milenial itu memang penting," ungkap dia.
Rebutan milenial
Saiful Mujani Research Center (SMRC) mencatat jumlah pemilih muda pada usia 17-38 tahun mencapai 55 persen dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2019. Pada pemilu lima tahun lalu, jumlah pemilih nasional mencapai 190 juta jiwa.
Jumlah pemilih muda yang mendominasi pada pemilu tahun depan membuat partai-partai politik berebut hati pemilih milenial tersebut.
Survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkap tingkat popularitas partai politik bagi kaum milenial. Dari hasil surveI tersebut, PSI menjadi partai yang paling tidak populer menurut milenial sebesar 11,5 persen, sementara partai yang paling populer menurut responden milenial yakni PDIP sebesar 92,7 persen.
Delapan partai pendukung Jokowi dari yang paling populer sampai yang tidak begitu populer adalah, PDIP 94,2 persen, Partai Golkar 92,7 persen, Partai Nasdem 80,3 persen, Partai Hanura 78,1 persen, dan PPP 73,1 persen.
Selain itu, dilihat dari tingkat elektabilitas partai menurut milenial, urutan dari yang paling tinggi sampai yang terendah yakni, PDIP 26,5 persen, Golkar 10,7 persen, Perindo 4,5 persen, Nasdem 3,5 persen, PPP 1,3 persen, dan Hanura 0,8 persen.
Figur muda
Saat ini, sejumlah nama dinilai sebagai tokoh muda yang potensial jika menjadi cawapres Jokowi. Di antaranya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Cak Imin punya elektabilitas tertinggi sebagai bakal cawapres dari kalangan Islam. Sementara berdasarkan hasil survei Indo Barometer untuk Pemilu 2019, elektabilitas Jokowi dan Agus Yudhoyono berada di urutan tertinggi (48 persen) jika berduet sebagai capres-cawapres.
Tapi, mari kita coba tinggalkan sejenak elemen politik.
Ada empat pemuda yang jadi idola anak jaman sekarang. Mereka sukses membesarkan startup dan bikin perubahan. Perkenalkan, nama mereka adalah Nadiem Makarim (Go-Jek), Ferry Unardi (Traveloka), Ahmad Zaky (Bukalapak), dan William Tanuwijaya (Tokopedia). Mengapa harus keempat orang ini? Karena perusahaan mereka punya valuasi lebih dari 1 miliar dolar AS.
Di Amerika Serikat, sudah ada sosok seperti empat anak muda itu yang ditarik ke ranah politik. Seperti pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, yang pada 2017 lalu santer dikabarkan maju dalam bursa calon presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2020.
Isu tersebut muncul setelah Zuckerberg merekrut sejumlah profesional di bidang politik untuk bergabung ke yayasan amal bersama sang istri, Chan Zuckerberg Initiative (CZI). Zuckerberg dinilai potensial jadi capres karena populer, jadi idola anak muda, dan punya modal finansial yang lebih dari cukup.
Pakar psikologi sosial dan politik dari Universitas Tarumanegara (Untar), Bonar Hutapea, mengatakan, Nadiem, Ferry, Zakky, dan William memiliki potensi sukses di ranah politik praktis karena populer, dikagumi, atau malah menjadi idola. Meski mereka harus diuji kemahirannya tampil di hadapan publik.
Fenomena ini masuk dalam Teori Modeling Albert Bandura. Di mana seorang yang diidolakan dapat memengaruhi kepribadian, tindakan, dan keputusan orang yang mengidolakannya. Singkat ceritanya, jika sudah menjadi idola, lebih mudah mengonversinya menjadi dukungan.
"Anak muda yang memiliki sosok idola yang sampai tingkat tertentu mampu memengaruhi kepribadian, tindakan, keputusan dan pilihan-pilihan mereka melalui proses modeling," jelas Bonar.
Bak angin bersambut, PDI Perjuangan, tidak membedakan figur dari partai politik atau profesional sebagai calon pendamping Jokowi. Di dunia politik, semua bisa berubah. Tidak ada ilmu pasti. Kemungkinan bisa terjadi selama bisa menambah kekuatan Jokowi. Sekjen PDIP Kristiyanto menegaskan, dari beberapa kriteria cawapres untuk Jokowi, di antaranya harus sering bertemu masyarakat, memahami masalah, dan tentunya bersih serta berintegritas.
"Tidak ada dikotomi bagi PDIP. Semua terpanggil sebagai pemimpin untuk bangsa juga memiliki komitmen sama," kata Hasto.
Bagaimana Pak Jokowi, tertarik menggaet figur muda di luar politikus menjadi cawapres?