"Sepanjang 2017, sebanyak 456 terdakwa yang berlatar pegawai Pemda, Pemkot, dan Pemkab yang menempati urutan pertama profesi pelaku korupsi dengan persentase 32,97 persen. Disusul dari kalangan swasta sebanyak 224 terdakwa dengan persentase 16,20 persen," ungkap Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Ester di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (3/5/2018).
Yang menarik, profesi kepala daerah menempati urutan ketiga sebagai pelaku korupsi, dengan persentase 6,80 persen. Di mana sebanyak 94 kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa sepanjang tahun 2017.
"Hal tersebut menampik stigma masyarakat yang memandang bahwa anggota legislatif baik DPR maupun DPRD banyak yang melakukan korupsi yang ternyata tidak terrefleksikan. Faktanya, anggota DPR atau DPRD menempati urutan keenam sebanyak 33 terdakwa," ujar Lola.
Lola kemudian mengidentifikasi lonjakan hampir tiga kali lipat peningkatan terdakwa korupsi berprofesi kepala daerah dari semula 32 terdakwa pada 2016 naik menjadi 94 terdakwa pada 2017 ini diduga berkaitan dengan jelang kontestasi Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019.
"Mungkin masih terlalu dini untuk mengidentifikasi bahwa perbuatan atau tersebut diduga berkaitan Pemilukada. Namun, data di atas dapat menjadi pintu masuk untuk menelusuri lebih jauh, apakah ada keterkaitan antara peningkatan perilaku korupsi di level daerah dengan kontestasi politik di daerah tersebut," tutur Lola.
Baca Juga: ICW : Novanto Harusnya Dipidana Seumur Hidup
Hal itu juga mengindikasikan bahwa pengawasan internal di pemerintahan baik level nasional maupun daerahtidak berjalan dengan baik. Karenanya, ICW memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyikapi profesi terbanyak pelaku korupsi tersebut.
"Dengan demikian, kita ingin menyampaikan kepada Presiden dan jajaran di bawahnya yang relevan dengan pengawasan pegawai negeri di level Pemda itu untuk meningkatkan pengawasan pada internalnya," pungkasnya.
Kerugian Negara Sebesar Rp29,419 triliun.
ICW juga menemukan sejumlah fakta baru di mana uang pengganti sebagai pidana tambahan yang dibebankan terhadap koruptor tidak sesuai. ICW menilai nominal uang pengganti yang berhasil diidentifikasi dari terdakwa korupsi yang diadili mencapai Rp29,419 triliun
Dari keseluruhan kerugian keuangan negara sebesar itu, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dibebankan terhadap terdakwa hanya sebesar Rp1,446 triliun atau sebesar 4,91 persen.
"Ketimpangan jumlah ini sangat disayangkan, karena selain pidana penjara pidana tambahan, uang pengganti untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan negara diharapkan dapat memaksimalisasi upaya pengembalian aset dan kerugian negara," papar Lola.
Ketimpangan tersebut, menurut Lola tidak membuat efek jera terhadap terdakwa kasus korupsi. Hal tersebut mencerminkan minimnya upaya pemiskinan terhadap koruptor.
Oleh karena itu, ICW merekomendasikan agar kejaksaan dan KPK dapat memaksimalisasi bentuk pidana tambahan uang pengganti yang harus dibayarkan oleh terdakwa.
"Penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) semestinya juga digunakan jika memang tidak seluruh kerugian keuangan negara dinikmati oleh terdakwa harus ada perhitungan yang jelas mengenai aliran dana tersebut," ungkapnya.
Penerapan UU TPPU, kata Lola, juga berfungsi agar uang-uang yang tidak teridentifikasi keberadaannya tersebut dapat ditarik kembali untuk pembelian aset negara dalam konteks pembelian kerugian keuangan negara terdapat disparitas yang sangat tinggi antara total kerugian negara dengan pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepada terdakwa.