Bagaimana enggak. Langkah ini sempat disebut-sebut sebagai cara Presiden Guatemala, Jimmy Morales untuk mengalihkan berbagai isu dan kemelut politik yang terjadi di dalam negeri.
Selain itu, berbagai pihak juga menyebut langkah Morales sebagai politik cari muka kepada Amerika Serikat, atau kepada Donald Trump-lah lebih tepatnya.
Kalau kamu belum tahu, saat ini lembaga antikorupsi Guatemala yang disokong kuat Amerika Serikat dan PBB, Guatemala Justicia tengah melakukan pengusutan kasus korupsi yang diduga melibatkan kakak dan anak laki-laki Morales.
Selain kakak dan anak laki-lakinya, Morales sendiri sejatinya sempat bersinggungan dengan kasus rasuah. Namun, pada September 2017 lalu, Morales berhasil lolos dari tuntutan penyelidikan hukum atas dugaan penyelewengan dana selama masa kampanye Pemilu Guatemala tahun 2015.
Saat itu, Kongres memutuskan untuk mempertahankan kekebalan hukum Morales yang memang dijamin oleh konstitusi negara. Berdasar konstitusi Guatemala, imunitas Morales sebagai presiden dapat diwujudkan dengan dukungan mayoritas dua per tiga suara Kongres atau sekitar 105 anggota.
Baca Juga : Guatemala Akan Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem
Saat ini, dukungan Amerika Serikat memang sangat penting buat Morales. Tahun depan, Jaksa Agung pengadilan tertinggi Guatemala akan mengalami pergantian. Morales banyak menaruh harapan pada Trump sebagai penyokong Guatemala Justicia untuk memilih Jaksa Agung yang lebih kooperatif dan memihak keluarganya.
Di sisi lain, New York Times mengabarkan, Trump mengancam akan memutus kerja sama dengan negara-negara yang menentang keputusannya terkait Yerusalem, meski tanda-tanda realisasi ancaman itu belum terlihat sampai sekarang.
Kedubes kedua di Yerusalem
Guatemala sendiri jadi negara kedua yang membuka kedutaan besarnya di Yerusalem, setelah Amerika Serikat dua hari sebelumnya. Guatemala pun jadi salah satu dari sedikit negara pendukung keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Didampingi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Morales menghadiri peresmian kedutaan besar Guatemala di gugus perkantoran di Yerusalem Barat.
Langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan sebuah anomali, mengingat selama berpuluh-puluh tahun, pemerintah Amerika Serikat telah melaksanakan sikap sebaliknya. Karenanya, jelas kebijakan Trump ini pun turut disayangkan oleh dunia Arab serta sekutu-sekutu Negeri Paman Sam di dunia Barat.
Baca Juga : Presiden Palestina Kutuk Pembukaan Kedubes AS di Yerusalem
Baca Juga : Jokowi Kecam Pemindahan Kedubes Amerika ke Yerusalem
Palestina, dengan dukungan luas dari dunia internasional, menginginkan Yerusalem Timur, yang direbut oleh Israel dalam perang Timur Tengah 1967, dijadikan ibu kota negaranya. Sementara Israel menganggap seluruh bagian Yerusalem, termasuk wilayah timur yang dicaploknya setelah konflik 1967, sebagai ibu kotanya.
Status Yerusalem memang jadi salah satu rintangan paling rumit dalam upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Maka, reaksi keras yang muncul dari kebijakan Trump ini pun jadi hal yang enggak mengherankan.
Pada hari Amerika Serikat meresmikan kedutaannya di Yerusalem, tentara Israel menembaki 60 warga Palestina yang terlibat dalam rangkaian unjuk rasa di perbatasan Gaza hingga tewas. Peristiwa itu pun menjadi tragedi paling berdarah di Gaza sejak perang dengan Israel pada 2014.