Dilema Menkeu Era Habibie Hadapi Krisis Moneter

| 06 Jun 2018 15:13
Dilema Menkeu Era Habibie Hadapi Krisis Moneter
Mantan Menteri Keuangan era Presiden BJ Habibie, Bambang Subianto. (Agatha/era.id)
Jakarta, era.id - Mantan Menteri Keuangan era Presiden BJ Habibie, Bambang Subianto, membeberkan cerita pemecatannya ketika menjadi ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang hanya didudukinya selama satu bulan, di awal 1998. Ia menuturkan, saat itu BPPN dibentuk untuk membereskan kondisi ekonomi negara yang sedang kacau balau. 

"Waktu itu belum ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) BPPN, baru merumuskan. Saya hanya lebih kurang satu bulan. Saya diberhentikan, karena Presiden tidak berkenan dengan usul saya, waktu itu presidennya Soeharto," tutur Bambang yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan terdakwa mantan Ketua BPPN Syarifuddin Arysad Tumenggung (SAT), di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (6/6/2018).

Bambang mengatakan, terbentuknya BPPN ini bertujuan untuk mengatasi kekacauan akibat krisis moneter. Saat itu, seluruh orang melakukan penarikan uang di bank dan memborong bahan makanan. Selain itu, inflasi meningkat hingga 100 persen dan dolar pun berada di angka Rp15.000. Ini semua membuat Indonesia kehilangan kepercayaan publik.

"BPPN dibentuk karena kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi kekacauan itu. Hilangnya kepercayaan masyarakat dan internasional sumber utama (kekacauan). Kemudian, pemerintah memutuskan membut penjaminan pinjaman semua kewajiban bank," tuturnya.

Pembentukan BPPN diakuinya memang berlangsung cukup cepat, karena pemerintah saat itu juga harus secara gesit memutar otak untuk dapat meredam kekacauan ekonomi. Ia mengaku saat itu sistem pembayaran di bank-bank Indonesia mengalami kemacetan, yang membuat sirkulasi dana tidak berjalan seimbang. Ia bahkan menuturkan, hampir semua bank memiliki modal minus, yang membuat mereka harus mendapatkan pinjaman dari bank pusat, agar bank kembali dapat beroperasi.

"Kalau pada waktu itu tidak dilakukan apa-apa, barangkali Indonesia sudah tenggelam, karena yang gawat waktu itu sistem pembayaran. Ini sesuatu yang kalau dia macet, tidak satu orang pun dan satu perusahaan pun bisa ambil uang di bank. Kalau situasi semacam itu terjadi, saya enggak bisa bayangkan kekacauan sosial," tuturnya.

Ia mengatakan kondisi bank-bank di Indonesia yang sudah di ujung tanduk, harus diselamatkan dengan aset-aset yang dibentuk. Itulah salah satu tugas BPPN.

"Oleh sebab itu harus ada penyeimbangnya berupa aset. Nah itu tugas BPPN untuk membentuk aset dan memperbaiki perbankan di Indonesia yang kondisinya sangat parah saat itu," tuturnya.

Namun, ia hanya menjabat selama sebulan menjadi ketua BPPN, karena ada ketidaksepakatan dengan Presiden Soeharto. Dua bulan setelahnya, Soeharto lengser dan digantikan oleh BJ Habibie. Saat itulah, ia ditunjuk untuk menjadi Menteri Keuangan oleh BJ Habibie dan menjabat selama 18 bulan, beriringan dengan masa bakti Presiden Habibie.

Ketika menjadi Menkeu, ia pun membuat kebijakan agar BI dan pemerintah saling bekerja sama untuk menuntaskan tagihan dari bank-bank nasional yang memperoleh suntikan dana BLBI. 

Saat itu, ia mengatakan equivalen antara BI dengan dana kucuran BLBI sangat jomplang, yang menyebabkan BI berada di ambang kebangkrutan. Selaku Menkeu, dia mengeluarkan surat yang meminta pemerintah agar membantu BI mendapatkan kembali dana BLBI yang dipinjamkan kepada bank-bank nasional. 

"Karena ada kewajiban dan penjaminan dari bank, maka BI mengajukan kepada pemerintah agar kewajiban bank-bank terhadap BI dibayar oleh pemerintah," tuturnya.

"Saya jadi terjepit dalam dilema. Kalau saya enggak keluarkan surat kepada pemerintah untuk gantiin BLBI, nanti BI bisa bangkrut. Nanti data itu dicatat kepada bank, padahal bank-bank itu modalnya negatif. Bank-bank menerima 144 triliun sementara equivalen BI hanya Rp10 triliun, jomplang sekali. Kalau bank pusat bangkrut, negara bangkrut," tambahnya.

Akhirnya, Pemerintah membantu BI menyelesaikan problem BLBI dengan mengeluarkan surat-surat hutang sebagai aset, yang kemudian diberikan ke BI. Dari BI, lanjutnya, kemudian diberikan kepada BPPN untuk dikroscek lebih lanjut dan menagih kepada para bank-bank yang mendapatkan pinjaman BLBI.

"BI menagih kepada pemerintah atas BLBI, tapi diaksihnya surat hutang, tagihannya dikasih kepada BPPN untuk berikan kepada bank-bank yang menerima BLBI," tuturnya.

Dalam perkara ini, SAT didakwa melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Perbuatannya itu disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.

Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tags : korupsi blbi
Rekomendasi