Pasca Rakernas PDIP, ke Mana Moncong Banteng Tertuju?
ERA.id - “Hai banteng-banteng yang gagah perkasa. Dari Merauke sampai ke Sabang. Dari Pulau Rote sampai ke Miangas, jangan jadi pengecut, apalagi pengkhianat," seru Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan Komaruddin Watubun menyambut rombongan Obor Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam yang dipimpin Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Kamis (23/5/2024).
Obor itu semula diarak para kader dan simpatisan PDIP dari Grobogan, Jawa Tengah, menuju lokasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP, Beach City International Stadium (BCIS) Ancol, Jakarta.
Partai banteng moncong putih itu baru saja menggelar Rakernas 24-26 Mei lalu. Ribuan pasukannya hadir memadati lokasi acara untuk mendengar wejangan dari sang ketua umum Megawati Soekarnoputri dan merapatkan barisan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Satukan barisan di bawah komando Megawati Soekarnoputri. Satyameva Jayate, Kebenaran Pasti Akan Menang," tegas Komaruddin.
Satyameva Jayate, slogan yang dipakai Rakernas V PDIP itu, meminjam istilah dari semboyan nasional India. Mantra tadi asalnya termaktub dalam naskah sanskrit Mundaka Upanishad, yang lebih lengkapnya berbunyi: Satyameva jayate nānṛtaṁ ‘hanya kebenaran yang berjaya; bukan kepalsuan’.
Rakernas selama tiga hari kemarin mendapat begitu banyak sorotan. Sebab, publik menanti-nanti ke mana moncong banteng diarahkan pasca-Pilpres 2024. Atau bagaimana sikap resmi PDIP setelah dikhianati mantan kader kesayangan mereka, Presiden Joko Widodo.
Setelah 10 tahun terakhir berada dalam kubu pemerintah, akankah partai langganan pemenang pemilu itu kembali menjadi oposisi? Lebih-lebih setelah jagoan mereka keok di urutan buncit pemilihan presiden kemarin.
“Kalau kita mencermati, melihat, dan menganalisa pidatonya Bu Mega, termasuk pidatonya Mbak Puan, itu sebenarnya kan representasi dari intensi bahwa PDIP itu oposisi loh,” ungkap pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago kepada Era.id, Senin (27/5/2024).
“Terbukti dengan statement misalnya ini pemilu terburuk sepanjang sejarah; terus kebenaran pasti akan menang; kemudian ada juga statement menyatakan kami ini konsisten menjaga ideologi. Itu kan menunjukkan bahwa benar PDIP sebenarnya tidak bagian dari pemerintahan yang sekarang,” lanjutnya.
Sedari awal, sikap PDIP memang cenderung keras kepada pemerintahan, khususnya setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka membelot ke kubu Prabowo Subianto. Padahal, PDIP sudah mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai calon presiden dan wakil presiden mereka.
Megawati, misalnya, menyinggung rekayasa hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran dapat dicalonkan menjadi wakil presiden dalam pidatonya bertajuk “Suara Hati Nurani” pada Minggu (12/11/2023).
“Rekayasa hukum tidak boleh terjadi lagi, hukum harus menjadi alat yang menghadirkan kebenaran,” ujarnya.
Puncaknya, saat Rakernas V PDIP kemarin, Jokowi tak diundang. Secara blak-blakan, Ketua Steering Commitee (SC) Rakernas Djarot Saiful Hidayat mengatakan tak mengundang pelanggar konstitusi dan etika.
“Apabila ada di antara kita anggota partai yang melanggar konstitusi, melanggar etika dan moral, maka dia sudah bukan menjadi bagian dari keluarga besar PDIP karena sudah bertentangan bukan hanya pada AD/ART partai, tapi pada konstitusi negara," kata Djarot dalam konferensi persnya, Jumat (24/5/2024).
Ia menyebut undangan Rakernas V PDIP khusus untuk internal partai. Sekalipun mengundang pihak luar, mereka adalah pihak-pihak yang dianggap punya komitmen menjaga demokrasi dan konstitusi.
“Yang diundang adalah sahabat-sahabat, para cendikiawan, para akademisi, para civil society, budayawan, masyarakat pro demokrasi yang betul-betul berjuang menegakkan demokrasi yang jujur, adil, yang konstitusional, yang bermartabat,” tegas Djarot.
Sayangnya, di balik ontran-ontran tadi, masyarakat yang menantikan sikap PDIP secara terbuka terpaksa harus gigit jari. Hingga Rakernas V PDIP berakhir, partai besutan anak proklamator itu masih belum mengumumkan sikap resminya.
Meski begitu, calon presiden Ganjar sempat mengungkapkan kisi-kisi ke mana posisi partainya akan berlabuh. Ia memprediksi sikap politik PDIP terhadap pemerintahan ke depan akan senada dengan orasi politik yang disampaikan ketua umumnya.
“Prediksi saya seperti apa menjadi kata per kata, kalimat per kalimat, seperti yang disampaikan Ibu Mega. Kalau saya melihatnya, sih, jelas,” ucap Ganjar usai pembukaan Rakernas V PDIP, Jumat (24/5/2024).
Menyimak pidato Bu Mega
Dalam pidato yang disinggung Ganjar tadi, Megawati menyampaikan beberapa hal, antara lain perihal pemimpin otoriter populis; urgensi reformasi terhadap negara hukum yang demokratis; anomali Pemilu 2024; hingga keteguhan menyuarakan kebenaran.
Megawati bahkan mengakui dirinya saat ini merupakan provokator demi kebenaran dan keadilan.
"Nanti katanya 'Bu Mega provokator.' Ya! Saya sekarang provokator demi kebenaran dan keadilan. Uenak ae (enak saja, red.). Ngerti 'kan yang dimaksud? Ya sudah," ucapnya.
Ia pun secara tegas menyebut perlunya partai politik yang menjadi penyeimbang untuk mengontrol pemerintahan.
"Di dalam menyikapi politik ke depan, sebagai partai yang memiliki sejarah panjang di dalam memperjuangkan demokrasi, kita tetap menempatkan penting adanya check and balance bahwa demokrasi memerlukan kontrol dan penyeimbang," kata Megawati.
Sementara untuk menghadapi tantangan demokrasi ke depan, Presiden Kelima RI itu menekankan pentingnya peran masyarakat, pers, partai politik, dan sistem hukum sebagai penopang.
"Demokrasi juga memerlukan partai politik yang sehat dan terlembaga serta sistem hukum yang benar-benar berkeadilan," ucapnya.
Tak lupa ia juga mengungkit kecurangan Pemilu 2024 yang sudah lewat. Menurutnya, pilpres kali ini sudah direkayasa.
"Sekarang pemilunya langsung, tapi kok jadi abu-abu gitu, sudah direkayasa," ucapnya. Ia menyebut dugaan kecurangan pemilu ini sudah diakui berbagai pihak, tetapi tak digubris oleh penyelenggara pemilu.
"KPU-nya juga diam, Bawaslu-nya enggak ada suara. Jadi kan saya mikir, masa saya enggak boleh bersuara? Saya boleh dong bersuara, katanya kita ini negara demokrasi, menjalankan demokratisasi," ujarnya.
Ia pun menyayangkan keberadaan MK yang disalahgunakan lewat intervensi penguasa, seperti tampak dari putusan MK Nomor 90 tentang batas umur capres-cawapres yang membuat Gibran bisa maju pada Pilpres 2024. Saat bertanya, “Ini yang salah siapa, hayo?”
Seluruh kadernya kompak menjawab: Jokowi!
“Kalau jadi partai, katanya partai itu kita solid bergerak, kalau teriak semua gitu loh,” gurau Megawati. “Kok kayaknya masih selalu goyang, goyang, goyang, goyang, goyang, goyang, ya, siapa yang goyang enggak usah deh jadi PDI Perjuangan.”
Selain itu, reformasi dinilainya sudah hilang dalam sekejap seiring maraknya nepotisme, kolusi, dan korupsi. Padahal, ia mengaku membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membasmi musuh bersama itu, tetapi sekarang malah dipakai dengan tidak baik.
“Heran loh barang yang bagus-bagus, tapi sekarang dipergunakannya menjadi tidak bagus. Kenapa ya? Itu kesalahan siapa ya?" kata Megawati.
Tak hanya menyindir pemerintahan Jokowi, ibunda Puan Maharani itu juga menyentil pemerintahan yang akan datang di bawah kekuasaan capres-cawapres terpilih Prabowo-Gibran.
Megawati menyinggung soal jatah menteri yang menjadi rebutan. Dia mengaku banyak mendengar terkait hal tersebut belakangan ini.
"Sembilan tahun telah dilalui dengan berbagai dinamika politik. Begitu banyak tarik menarik kepentingan politik terjadi, bahkan jabatan menteri pun Ibu dengar nih wah sudah pada rebutan deh," ucapnya.
Dia menyinggung pula perihal jumlah kementerian dalam satu kabinet dan membandingkannya dengan kabinetnya dulu.
Kala menjabat presiden, Megawati mengaku memilih membentuk kabinet ramping dengan jumlah menteri hanya 33 orang. Dengan komposisi itu, ia mengklaim berbagai krisis yang dihadapi Indonesia bisa teratasi.
"Ketika menghadapi krisis multi-dimensi, saya memilih membentuk kabinet ramping dengan jumlah menteri 33 tapi bersifat zaken kabinet, profesional the right man in the right place," ucapnya. "Seluruh krisis diatasi, seluruh utang lewat IMF dilunasi."
Seperti diketahui, Prabowo berencana menambah jumlah kementerian menjadi 40 di pemerintahannya nanti. Diduga penambahan itu untuk mengakomodasi jatah menteri dari partai-partai politik pendukungnya. Belakangan, Undang-Undang (UU) Kementerian Negara juga sudah masuk pembahasan untuk direvisi.
Meski sudah menyindir sana-sini, Megawati masih enggan mengumumkan sikap resmi partai ke depan.
"Nah ini kan juga, sikap politik partai berada di dalam atau di luar pemerintahan. Gitu kan? Lha iya, enak wae. Belum menit ini saya ngomong," kata Megawati sembari tertawa.
"Kan harus dihitung secara politik lho. Enak aja. Ini kan wartawan paling tungguin Iki. Sikap dari rakernas, tadi pagi saya baca Kompas, akan menentukan sikap blablabla. Haha, aku sambil sarapan gitu kan, aku bilang, haha, enak aja. Gue mainin dulu dong," imbuhnya.
Dia lantas meminta para kadernya supaya fokus untuk turun ke bawah bersama rakyat dan memenangkan Pilkada 2024.
17 rekomendasi Rakernas V PDIP
Walaupun belum menentukan sikap, Rakernas V PDIP menyampaikan 17 rekomendasi partai yang syarat kritik terhadap pemerintah dan situasi demokrasi akhir-akhir ini. Rekomendasi itu dibacakan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan emosional—bahkan sampai menangis sehingga ia ditegur ibunya.
“Piye sih penggede-penggede partai iki, loh, lama-lama tambah cengeng,” ledek Megawati. “Enggak perlu cengeng lah. Ya udah kesabaran revolusioner.”
Adapun ke-17 rekomendasi Rakernas V PDIP tersebut kami rangkum sebagai berikut:
- Meninjau kembali sistem pemilu hingga reformasi sistem hukum pasca-Pemilu 2024 yang merupakan pemilu terburuk dalam sejarah demokrasi Indonesia;
- menguatkan pelembagaan partai dan memperlakukan setara partai politik di dalam pemerintahan maupun di luar sebagai kontrol dan penyeimbang (checks and balances);
- menolak penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan seperti yang terjadi lewat revisi UU MK dan UU Penyiaran;
- mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2024;
- mendorong pelembagaan demokrasi yang berkedaulatan rakyat;
- meminta Ketua Umum PDIP hanya melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang berkomitmen tinggi dalam menjamin agenda reformasi, penguatan supremasi hukum dan sistem meritokrasi;
- menyempurnakan sistem rekrutmen, pelatihan, kaderisasi, dan penugasan partai agar tidak ada lagi kader yang tidak menjunjung tinggi etika politik seperti pada Pemilu 2024;
- mendesak pemerintah mengkaji lagi kebijakan investasi yang berpotensi mengorbankan kepentingan nasional;
- mendorong Tiga Pilar Partai (struktural, legislatif, dan eksekutif) menjalankan program kerakyatan dengan berpihak kepada petani, nelayan, buruh, dan seluruh lapisan masyarakat lain;
- mendorong Tiga Pilar Partai solid memenangkan Pilkada Serentak 2024;
- mendorong Tiga Pilar Partai mempercepat kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani;
- mendesak pemerintah menerapkan secara serius kebijakan net zero emission dan menghentikan deforestasi;
- mendesak pemerintah menurunkan biaya pendidikan tinggi;
- mendorong penyelesaian Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan memperhatikan keuangan negara dan penyelesaian sengketa tanah adat dengan adil;
- mendorong pemerintah lebih aktif dalam diplomasi perdamaian atas konflik dunia;
- memberikan kewenangan penuh kepada Ketua Umum PDIP untuk menentukan sikap politik partai terhadap pemerintah;
- dan memohon kesediaan Megawati kembali menjadi Ketua Umum PDIP Periode 2025-2030.
Menebak alasan PDIP tak kunjung bersikap, amankan Pilkada 2024?
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai PDIP bersikap hati-hati sebelum resmi mengumumkan sikap politiknya ke depan. Apalagi menjelang Pilkada 2024 bulan November nanti.
“Karena kan sekarang ritme pilkada juga harus dijaga. Kalau misalnya PDIP menjadi partai oposisi, nanti partainya di daerah-daerah tidak ada yang mau koalisi dengan PDIP. Dampak itu kan juga tetap dipertimbangkan,” ujarnya.
“Nah itu yang kemudian PDIP juga akan sangat hati-hati saya kira untuk menggamblangkan kenapa PDIP tidak langsung to the point, blak-blakan. Kenapa kemudian PDIP memberikan sinyal-sinyal penuh makna, termasuk PDIP tidak mau secara gamblang untuk menjelaskan kami ini oposisi loh,” lanjutnya.
Menurut pengamat politik jebolan Universitas Indonesia (UI) itu, PDIP punya kepentingan untuk memenangkan pilkada di beberapa daerah. Dan tujuan itu bisa sulit tercapai jika mereka mengumumkan posisi politiknya sekarang.
“Kalau dinyatakan jadi partai oposisi nanti, otomatis PDIP ada beberapa daerah yang gak bisa maju kalau gak berdampingan dengan partai koalisi lain. Nah tiba-tiba PDIP berjuang sendiri di daerah kan repot juga,” ucapnya.
“Semangat itu yang saya cermati masih jadi perhatian Bu Mega, jangan sampai PDIP kemudian dikeroyok, diserang, digembosi, atau dikerjakan oleh kekuasaan, itu kan juga banyak kepala daerah PDIP nanti yang kewalahan di daerah,” sambungnya.
Namun, kader PDIP Aria Bima menyanggah partainya belum menentukan sikap karena takut dijegal di pilkada. Ia menyebut PDIP berkomitmen mengamankan pemerintahan Presiden Jokowi sampai Oktober 2024.
“Buktinya menteri kita masih di dalam. Lha pemerintahan Pak Prabowo baru ada Oktober, kok sekarang memutuskan? Kan cara logika nalarnya begitu. Jadi kami melihat gege mongso,” ucapnya kepada Era.id, Minggu (26/5/2024).
Ia juga menekankan partainya tak mengenal istilah oposisi. Sebab, menurut Ketua Umum PDIP, istilah oposisi digunakan dalam sistem parlementer, sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial.
“Maka dalam konteks inilah kita mengambil posisi untuk penguatan fungsi check and balances, supaya ada partai yang tidak dalam satu barisan dengan pemerintah,” ujarnya. “Kalau oposisi kan cenderung destruktif dan cenderung mengkritik tanpa memberikan offering. Nah kami ingin, (PDIP) ini kritis yang konstruktif.”
Ia juga menampik isu PDIP menunggu porsi jatah menteri dalam kabinet Prabowo sebelum mengumumkan sikap mereka.
“Enggak, sama sekali enggak (menunggu jatah menteri). (Pengumuman sikap politik PDIP) Nunggu pemerintahan ada dulu. Dialektikanya begitu,” ujarnya.
Namun, ia tak menyanggah bahwa PDIP juga membuka peluang berkoalisi dengan partai mana pun dalam kontestasi pilkada mendatang. Karena jika koalisi pilkada dibatasi dengan koalisi pilpres sebelumnya, maka itu hanya akan menjadi hajatan para elite.
“Kita bisa bersama partai pengusung 01 atau 02 untuk bareng-bareng mengusung pilkada ini,” ujarnya. “Kita ingin juga memberikan ruang supaya hajatan ini jangan lagi hanya sekadar koalisi atau konfigurasi pengusung capres memfotokopi menjadi koalisi pilkada, itu menjadi sangat elitis.”