Tabungan "Paksa" Tapera, Ketika Pekerja Ditodong Negara Gotong Royong Beli Rumah

ERA.id - Baru-baru ini, muncul tren di kalangan warganet untuk mencari tahu cara pindah kewarganegaraan. Ada rasa putus asa yang tersiar soal nasib menjadi warga negara Indonesia. Sebabnya beragam, mulai biaya pendidikan selangit; penegakan hukum yang menunggu kasus viral; hingga belakangan soal potongan gaji 3 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Undang-Undang Tapera sejatinya sudah berlaku sejak 2016. Lalu, besaran iuran peserta ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020. Namun, isu Tapera baru kembali hangat setelah Presiden Joko Widodo meneken PP Nomor 21 Tahun 2024 yang sedikit merevisi aturan sebelumnya.

Adapun besaran Tapera sejumlah 3 persen dari gaji. Pemberi kerja menanggung 0,5 persen dan sisanya ditanggung pekerja. Sementara kepesertaan Tapera berlaku hingga pensiun atau berusia 58 tahun bagi pekerja mandiri.

Merespons hal ini, Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia, Piter Abdullah menggarisbawahi ada dua kelemahan dalam program Tapera. Pertama, menyamakan semua pekerja sebagai peserta. Kedua, menafikan program-program pembiayaan rumah yang sudah ada.

“Tujuannya bagus, adalah membantu para pekerja untuk mendapatkan rumah. Cuman kebijakan ini kelemahannya adalah menyamakan semua pekerja, kemudian mengubah sesuatu yang seharusnya tidak diwajibkan menjadi diwajibkan,” ujar Piter kepada Era.id, Jumat (31/5/2024).

“Yang kedua, program ini menafikan program-program yang sudah ada. BPJS Ketenagakerjaan untuk jaminan hari tua itu kan ada fasilitas perumahannya juga, kita juga sudah ada KUR (Kredit Usaha Rakyat) kan? Kita punya namanya KPR MBR (masyarakat berpenghasilan rendah),” lanjutnya. 

Tabungan kok wajib?

Dalam Pasal 7 UU Tapera, dijelaskan bahwa “setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”. Sementara PP Tapera memerinci bahwa yang dimaksud pekerja termasuk karyawan swasta.

Artinya, siapa pun yang berpenghasilan sebesar atau lebih dari upah minimum wajib mendaftar Tapera. Mau tidak mau, suka tidak suka. Dan menurut PP 25/2020, semua pekerja harus didaftarkan paling lambat tujuh tahun sejak peraturan berlaku. Berarti, terhitung pada 2027 nanti, semua pekerja akan kena potongan gaji 3 persen. Tak pandang bulu.

“Prioritas pekerja itu kan nggak sama. Jadi walaupun tujuannya baik, tapi karena dia diwajibkan dan diberlakukan kepada semua pekerja, sementara pekerja memiliki prioritas yang berbeda-beda, ini menjadi sesuatu yang nggak pas,” kritik Piter.

“Sementara nggak semua pekerja juga mau beli rumah. Diwajibkan ke semua pekerja, berarti pekerja yang sudah 40 tahun, sudah punya rumah, dipotong juga? Kan doesn’t make sense,” sambungnya.

Menurut Piter, lebih tepat kalau Tapera tidak diwajibkan—bahkan kalau perlu tidak usah sama sekali. Ia pun menolak keras apabila Tapera disamakan dengan BPJS Kesehatan seperti disampaikan Jokowi.

“Beda. Kalau ini kan sifatnya tabungan. Kalau BPJS Kesehatan itu asuransi. (BPJS) Ketenagakerjaan relatif modelnya itu sama. Itu kan perlindungan sosial. Nah ini kan beda,” sanggah Piter. “Jadi nggak bisa Mr. President kita itu ngomong kayak gitu.”

Sebelumnya, Jokowi menyebut wajar apabila sebuah kebijakan yang belum berjalan menuai pro dan kontra. Seperti iuran BPJS yang awal-awal banyak dikritik.

"Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI yang gratis 96 juta kan juga ramai. Tapi setelah berjalan, saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," kata Jokowi di Istora Senayan, Selasa (28/5/2024).

Sementara itu, Ketua Komite Tapera Basuki Hadimulyo kegagapan saat ditanya bagaimana nasib pekerja yang sudah punya rumah atau mencicil KPR. Apakah masih wajib jadi peserta Tapera?

“Nah itu saya enggak mengerti. Nanti saya tanya ke BP Tapera," ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu saat menghadiri acara Intelligent Transport System (ITS) Asia Pacific Forum, Selasa (28/5/2024).

Komunikasi pemerintah yang kedodoran itu turut menjadi bahan kritik Piter Abdullah. Ia menilai Tapera selain banyak kelemahan, juga dikomunikasikan dengan buruk ke masyarakat, sehingga terjadi resistensi yang kuat begitu beritanya mencuat.

“Karena program ini yang muncul pertama adalah kewajibannya, sementara manfaatnya tidak dijelaskan dengan cukup. Sehingga yang terjadi adalah didasarkan kepada pemahaman yang terbatas, penolakan dulu,” jelas Piter. 

Berdasarkan pemahaman terbatas tadi, menurutnya, masyarakat semakin berspekulasi buruk dan membuat hitung-hitungan sendiri yang kurang pas. Misalnya, menganggap Tapera sekadar titip tabungan ke pemerintah dan bisa dicairkan setelah pensiun buat beli rumah. 

“Sementara program ini sebenarnya arahnya bukan dengan tabungan itu kita membeli rumah. Tapi dengan tabungan ini pekerja bisa mendapatkan program pembiayaan. Tapera ini kan modelnya seperti itu, setelah setahun kita bisa mendapatkan pembiayaan perumahan,” terangnya.

Memang ada manfaatnya?

Pak Basuki seharusnya bisa menjawab pertanyaan wartawan dengan mudah apabila sempat membaca seksama UU Tapera. Dalam Pasal 25, disebutkan pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera meliputi tiga hal: Pemilikan rumah; pembangunan rumah; dan perbaikan rumah.

Seperti disampaikan Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebetulnya menerima manfaat berupa pembiayaan kredit perumahan setelah 12 bulan terdaftar sebagai peserta Tapera menurut Peraturan Badan Pengelola (BP) Tapera.

Ada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi yang belum punya tanah dan rumah; Kredit Bangun Rumah (KBR) bagi yang sudah punya tanah; dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) bagi yang sudah punya rumah.

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho, dalam konferensi pers hari Jumat (31/5/2024) di Kantor Staf Presiden (KSP), menjelaskan keuntungan mengambil KPR lewat BP Tapera, yaitu suku bunga rendah dan tetap di angka 5 persen.

“Bunganya tetap terjaga di level yang lebih rendah dari bunga komersial, saat ini kan 5 persen,” ujar Heru.

Ia lalu memberi simulasi kelebihan KPR Tapera ketimbang KPR Komersial. Misalnya harga rumah tapak sebesar Rp175 juta dengan tenor 20 tahun, benefit pengurangan beban bulanan peserta Tapera mencapai Rp524.893. Dan selisih beban selama 20 tahun KPR mencapai Rp125.974.337 juta.

Sayangnya, pekerja dengan gaji di atas Rp8 juta per bulan hanya dapat manfaat berupa “pengembalian tabungan dan imbal hasil” setelah pensiun atau mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri. 

Artinya, bagi pekerja MBR, Tapera seperti koperasi simpan pinjam yang memungkinkan mereka mengambil pinjaman. Sementara bagi pekerja non-MBR, Tapera hanya menjadi tabungan seperti deposito jangka panjang. Karena mereka tidak bisa menggunakannya untuk mendapat pembiayaan kredit perumahan.

Di sinilah letak pertanyaan ekonom Piter Abdullah terhadap pemerintah. “Kalau pekerja sudah punya rumah atau gak mau punya rumah, lalu buat apa menabung?”

Dalih gotong royong di balik kewajiban Tapera

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan saat ini ada 9,95 juta keluarga di Indonesia tidak punya rumah.

“Sementara kemampuan pemerintah dengan berbagai skema subsidi dan fasilitas pembiayaan, menyediakan kurang lebih 250 ribu rumah,” ujarnya. “Pertumbuhan demand setiap tahun, ini data statistik juga, itu 700 ribu sampai 800 ribu keluarga baru yang belum punya rumah.”

Karena itulah, menurutnya, masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan (kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah). 

“Makanya perlu ada grand design yang melibatkan, menyertakan masyarakat untuk bersama-sama pemerintah, bareng-bareng ini. Dan konsepnya bukan iuran, tabung! Konsepnya adalah nabung,” ujar Heru.

“Jadi kenapa harus ikut nabung? Ya tadi, prinsip gotong royong di undang-undangnya itu. Pemerintah, masyarakat yang sudah punya rumah, bantu yang belum punya rumah. Semua membaur,” sambungnya.

Dengan mewajibkan semua pekerja mendaftar Tapera, menurut Heru, bunga KPR untuk pekerja yang belum punya rumah bisa tetap terjaga di level yang lebih rendah dari bunga komersial.

“Kalau itu bisa dikonstruksikan dalam Tapera, ini kan sebenarnya sangat mulia... itu kan indah sekali,” ujarnya.

Kisah pensiunan ASN: Tapera sulit cair, dapatnya sedikit

Budi (bukan nama sebenarnya), bercerita kepada Era.id tentang kesulitannya mencairkan dana Tapera usai pensiun tahun lalu. Ia bekerja sebagai ASN selama 35 tahun, mulai di Kementerian Perhubungan hingga bertugas di Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

“Ide awalnya dulu sekitar 1993-an, namanya iuran perumahan untuk PNS berupa bantuan uang muka untuk masing-masing golongan PNS. Ke sini-sini berubah menjadi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS (BAPERTARUM-PNS), sekarang Tapera,” ungkap Budi, Jumat (31/5/2024).

“Masa kerja saya selama PNS adalah 35 tahun dari 1998-2023. Jadi kepesertaan saya di Tapera lebih kurang 30 tahun. Dimulai dari awal pangkat saya di Golongan II dengan iuran Rp5 ribu; kemudian Golongan III Rp7 ribu; dan Golongan IV Rp10 ribu,” lanjutnya.

Sewaktu pensiun bulan Februari 2023, ia mulai mengurus pencairan dana tabungannya di pemerintah. Namun, ia mengaku prosedurnya cukup sulit baginya.

“Apalagi kudu pakai aplikasi Tapera. Memang dibantu oleh unit kepegawaian setempat untuk ngisi data segala macam, tapi tetap tidak praktis. Apalagi nunggu SK pensiun yang kadang telat kita terima. Saya baru dapat pengembalian dana bulan Mei, lebih dari tiga bulan dari deadline,” ujarnya.

Ia lalu menjelaskan tidak banyak rekan sejawatnya yang memanfaatkan bantuan uang muka Tapera untuk membangun rumah. Selain prosedurnya sulit, dulu mereka hanya diberi bantuan yang nilainya jauh di bawah rata-rata uang muka KPR.

“Kisaran bantuan antara Rp1,2 juta – Rp1,8 juta. Saya saja bisa beli rumah karena ‘nyekolahin’ SK PNS saya. Ini juga umumnya dilakukan PNS jika ingin punya rumah. Sangat sedikit PNS memanfaatkan dana Tapera,” ungkapnya.

“Saya saja kepesertaan Tapera yang sudah lebih dari 30 tahun, hanya dapat dana kembalian sekitar Rp7 juta lebih sedikit. Yang kembali hanya pokok iuran saja tanpa bunga atau manfaat lainnya,” sambung Budi.

Ia menyebut rata-rata rekan seangkatannya juga menjalani pengalaman serupa. Mereka hanya menitip potongan gaji ke pemerintah untuk dicairkan puluhan tahun kemudian dengan nominal seadanya. 

“Sejauh saya tahu, mereka rata-rata mencairkannya dengan sabar dan kadang-kadang mengesalkan. Hanya butuh waktu yang lama dan relatif birokratis. Rekan PNS yang jauh dari kota dan tidak bisa mengakses internet, mereka harus mondar-mandir ke sana kemari,” ujarnya.

“Ini memang lebih mengesalkan, dan kadang timbul putus asa, terlebih jika si penerima pensiun meninggal dunia. Umumnya memang menyusahkan pensiunan untuk ngurus Tapera. Mestinya ini yang dibenahi.”

Muncul kekhawatiran potensi korupsi seperti Asabri?

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan pengelolaan dana Tapera akan diawasi oleh Komite Tapera sehingga dapat mencegah korupsi seperti yang terjadi di PT Asabri (Persero).

Ia mengungkapkan komite itu diketuai oleh Menteri PUPR. Sementara anggotanya terdiri dari Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta tenaga profesional.

"Kita hadirkan OJK, di situ ada komite, tapi OJK juga punya fungsi pengawasan. Pengawasan salah satunya melalui Komite Tapera yang akan melakukan pengawasan Tapera, ketuanya adalah Menteri PUPR, dengan anggota Menkeu, Menaker, komisioner OJK, dan profesional," kata Moeldoko dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Moeldoko menyebu, Komite Tapera diharapkan mampu membangun sistem pengawasan untuk menjamin pengelolaan dana yang baik, akuntabel, dan transparan. Sehingga Tapera tidak akan bernasib sama seperti PT Asabri (Persero) yang pengelolaannya tidak terbuka.

"Jangan sampai terjadi seperti Asabri. Asabri waktu saya menjadi Panglima TNI, saya nyentuh saja enggak bisa. Menempatkan orang saja enggak bisa," tegas Moeldoko.

Dia mengaku sempat jengkel lantaran tidak bisa ikut mengawasi Asabri. Akibat pengawasan yang tidak transparan, timbul kasus korupsi di perusahaan asuransi tersebut.

"Ini uang prajurit saya masa saya enggak tahu? Gimana sih ini? Bayangkan, Panglima TNI punya anggota 500.000 prajurit enggak boleh nyentuh Asabri. Akhirnya kejadian (korupsi) seperti kemarin, kita enggak ngerti, gitu," ungkap Moeldoko.

"Nah, ini dengan dibentuknya komite ini saya yakin nanti akan pengelolaannya akan lebih transparan, akuntabel, enggak bisa macam-macam karena semua betul-betul investasi akan dijalankan, pasti akan dikontrol dengan baik. Minimum oleh para komite dan secara umum oleh OJK," sambungnya.

Jokowi dianggap melupakan kelas menengah

Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama menilai aturan Tapera yang wajib bagi seluruh pekerja akan berdampak sangat luas dan merugikan banyak orang. Salah satunya golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah, entah karena sudah telanjur membeli atau dapat warisan orang tua.

"Dalam aturan PP No. 25/2020 disebutkan bagi peserta non-MBR, maka uang pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut," jelas Suryadi.

Fraksi PKS, lanjut Suryadi, mengusulkan golongan kelas menengah ini dapat dibantu membeli properti yang produktif seperti ruko dan sebagainya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

"Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023, menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah," ujarnya.

Padahal, imbuh Suryadi, pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang.

"Fraksi PKS mendorong agar kelas menengah ini juga diperhatikan. Di satu sisi, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR, sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi. Namun, di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi, sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera," ungkap Anggota DPR RI dari Dapil NTB 1 ini.

Fraksi PKS juga meminta agar kelas menengah tanggung seperti Generasi Milenial dan Gen Z lebih diperhatikan secara khusus.

"Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah," urainya.

Kemudian, menurut Suryadi, pekerja mandiri yang pendapatannya tidak tetap juga akan merasakan dampak besar dengan kewajiban Tapera.

"Tentunya iuran untuk pekerja mandiri ini perlu diatur oleh BP Tapera secara bijaksana dan perlu diklasifikasikan dengan baik agar tidak memberatkan para pekerja mandiri," jelasnya.

Selanjutnya, Suryadi menyinggung Keputusan Menteri PUPR Nomor 242/KPTS/M/2020 yang mengatur batasan maksimal penghasilan MBR pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga) dan SSM (Subsidi Bantuan Uang Muka), yaitu maksimal Rp8 juta per bulan.

"Hal ini perlu dikaji lebih dalam, apakah batasan ini perlu ditingkatkan, mengingat saat ini masih banyak rumah bersubsidi yang terbengkalai karena tidak diserap oleh masyarakat," pungkasnya.

Suryadi menambahkan Fraksi PKS meminta adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Tapera sejak tahun 2020 berdasarkan PP 25/2020. Apakah peserta Tapera MBR memang mengambil jatahnya untuk membeli rumah?

"Juga perlu dievaluasi apakah Peserta non-MBR yang sudah pensiun dan ingin mencairkan Tapera tidak mengalami prosedur yang rumit dan berbelit, terutama yang berdomisilinya di daerah," terang Wakil Sekretaris Fraksi PKS ini.

Terakhir, ia juga menyebut pemupukan atau pengembangan dana Tapera harus diawasi dengan ketat.

"FPKS mendesak agar pemilihan manajer investasi pada BP Tapera yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan dana Tapera ini harus transparan dan akuntabel dan diawasi secara ketat. Hal ini diperlukan agar dana Tapera tidak mengalami penyalahgunaan seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri, dan tidak dimasukkan dalam proyek-proyek yang berisiko tinggi seperti proyek IKN, atau jangan sampai dialokasikan ke program pemerintah lainnya," tutup Suryadi.

>