Kontroversi Kontrasepsi Buat Remaja: Antara Edukasi Reproduksi dan Seks Bebas
ERA.id - Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Isinya beragam, seperti larangan jual rokok ketengan; larangan diskon susu formula (sufor); hingga cukai makanan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL). Di antara sekian pasal, salah satu yang paling mencolok adalah soal penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar.
Aturan terkait itu sontak saja menimbulkan kegaduhan. Pasal 103 ayat (1) PP 28/2024 berbunyi, “Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi”.
Kemudian, ayat (4) menyebut “pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi”.
Banyak pihak lantas membenturkan aturan tersebut dengan nilai-nilai agama dan norma masyarakat di Indonesia. Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar dianggap dapat menyuburkan perilaku seks bebas sejak usia dini. Di antara pihak yang paling keras menentangnya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Politikus PKS sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menilai penyediaan alat kontrasepsi seperti kondom bagi pelajar tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional (Diknas).
"Itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” kata Fikri, Senin (5/8/2024).
Adapun landasan pendidikan nasional adalah Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Selain itu, juga disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fikri menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar sama saja membolehkan tindakan seks bebas kepada mereka. “Alih-alih menyosialisasikan risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?” ujarnya.
“Tradisi yang telah diajarkan secara turun-temurun oleh para orang tua kita adalah mematuhi perintah agama dalam hal menjaga hubungan dengan lawan jenis, dan risiko penyakit menular yang menyertainya,” lanjutnya.
Pendapat serupa dikemukakan anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim. Ia mewanti-wanti pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi dan seksual harus berlandaskan Pancasila dan agama.
"Pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi sangat penting diletakkan di atas dasar nilai-nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal agama-agama," kata Luqman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Sementara itu, penyediaan alat kontrasepsi dalam PP 28/2024 menurutnya justru berpotensi menciptakan mispersepsi soal seksualitas pada usia remaja.
“Dengan adanya akses langsung ke alat kontrasepsi, ada risiko bahwa remaja akan menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan mekanisme teknis semata, tanpa memperhatikan aspek emosional, moral, dan sosial yang penting,” ujar Lukman.
“Ini berpotensi mempromosikan pemikiran bahwa hubungan seksual di usia muda adalah hal yang dapat diterima, asalkan dilakukan dengan penggunaan kontrasepsi, tanpa memberikan cukup penekanan pada risiko dan konsekuensi jangka panjang dari perilaku seksual prematur,” lanjutnya.
Maka dari itu, ia menilai seharusnya edukasi kesehatan reproduksi untuk anak usia sekolah atau remaja tidak termasuk penyediaan alat kontrasepsi. “Aspek edukasi kesehatan reproduksi untuk remaja harus menjadi prioritas utama dibandingkan pemberian alat-alat kontrasepsi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo menegaskan pihaknya sangat menentang perzinahan. Dengan demikian, Ia mewanti-wanti kontrasepsi harus digunakan tepat sasaran. Hal tersebut disampaikan dalam pemaparannya pada kegiatan “Jajaki, Layani, dan Input Data ke dalam Elsimil bagi Calon Pengantin (Jalin Catin)” di Aceh, Selasa (6/8/2024).
"Remaja itu memang unik. Remaja yang menjelang nikah harus ingat, Undang-Undang itu diperbolehkan beli alat kontrasepsi dengan anak umur 15, 16, 17 asalkan sudah menikah,” ujar dr. Hasto.
“Maka dari itu, yang diberikan alat kontrasepsi jangan yang masih SMP dan belum menikah. Yang diperbolehkan beli alat kontrasepsi sebetulnya harus disesuaikan dengan norma agama juga. Yang mau nikah berjanji sebelum sah jangan melakukan hubungan seks," tegasnya.
Dalih pemerintah: buat yang sudah nikah saja
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), PP 28/2024 diterbitkan sebagai upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat sakit. Layanan itu termasuk memastikan kesehatan reproduksi remaja, di mana pemerintah akan menggalakkan program sosialisasi serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Sosialisasi itu nantinya akan mengedukasi remaja tentang sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana; serta upaya melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual.
Menanggapi ribut-ribut soal penyediaan alat kontrasepsi dalam PP 28/2024, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan itu bukan untuk pelajar, melainkan anak usia sekolah. Hal tersebut dikarenakan masih banyak masyarakat usia sekolah yang sudah menikah di beberapa daerah.
"Sebenarnya ini (alat kontrasepsi) diarahkan untuk usia sekolah, bukan buat pelajar," kata Budi di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (6/8/2024).
Juru Bicara Kemenkes dr. Mohammad Syahril Sp.P, MPH menjelaskan lebih lanjut bahwa remaja yang dimaksud terbatas pada yang sudah menikah.
"Penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan," ujar dr. Syahril, Senin (5/8/2024).
"Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil," lanjutnya.
Sesuai ketentuan dalam PP 28/2024, tambahnya, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak salah persepsi dalam menginterpretasikan PP 28/2024, sebab aturan tersebut akan diperjelas dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan turunan.
Permenkes itu nanti akan memperjelas mengenai pemberian edukasi tentang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja yang akan disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan usia anak.
Muhammadiyah dan NU sepakat minta revisi
Meskipun pemerintah mengatakan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja khusus yang sudah menikah, tetapi masih banyak penolakan terkait kebijakan tersebut. Salah satunya datang dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Perkawinan.
“Batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Remaja, adalah mereka yang berusia di bawah 19 tahun,” ujar Mu’ti dalam keterangannya, Rabu (7/8/2024).
Mu’ti kembali mengingatkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja berpotensi menormalisasi seks bebas di kalangan masyarakat. Ia pun menyarankan agar PP 28/2024 tersebut direvisi.
“Potensi kerusakan moral akan semakin besar. Jangan sampai kepedulian akan kesehatan reproduksi merusak kesehatan mental dan moral masyarakat, khususnya remaja,” pungkasnya.
Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) juga punya pendapat serupa dengan Muhammadiyah. Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta Sudarto menyebut aturan penyediaan alat kontrasepsi di kalangan siswa sekolah sangat bias.
“Klausul utuh dalam satu pasal ini dapat menimbulkan anggapan masyarakat, bahwa alih-alih ingin mengeliminasi penyebaran HIV Aids, Pemerintah malah seakan melegitimasi hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja,” kata Sudarto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/8/2024).
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah merevisi beberapa klausul yang bias. Ia juga mempertanyakan makna “perilaku seksual yang sehat” dalam PP 28/2024.
“Tidak hanya pada Pasal 103 (2) e, kami dari LP Ma'arif NU DKI Jakarta juga keberatan dengan klausul di Pasal 104 (2) b, tentang memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi dalam perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab,” tegasnya.
Menurutnya, jika pemerintah berdalih penyediaan alat kontrasepsi ditujukan kepada remaja yang sudah menikah, maka klausul pada pasal tersebut harus dipertegas atau dihilangkan. Ia pun menyinggung PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang tak mencantumkan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja.
“Tidak ada yang menyebutkan penyediaan pelayanan kontrasepsi terhadap remaja,” jelasnya.
Terakhir, ia mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam merancang peraturan. Ia berharap aturan yang diterbitkan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya ketimuran yang mengakar di Indonesia.
“Seyogyanya pemerintah harus lebih hati-hati dalam merancang sebuah peraturan, agar maksud dan tujuan yang baik tidak terganjal hanya karena salah merumuskan klausul pasal pada peraturan,” pungkasnya.