Menguak Sisi Religiusitas DN Aidit, Ternyata Seorang Muazin dan Muslim yang Taat

ERA.id - Sosok Dipa Nusantara (DN) Aidit identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika mendengar kata komunisme, orang awam juga mengaitkannya dengan ateisme atau tak beragama. Tapi ternyata tidak dengan Aidit kecil.

Masa kecil Aidit dihabiskan di Tanjung Pandan, Belitung. Anak keempat dari DN Aidit, Ilham Aidit menyebut warga Tanjung Pandang mengenang Aidit kecil sangat peduli dengan genteng masjid yang pecah atau rusak. 

"Kecilnya dia itu adalah orang yang sangat concern sama genteng masjid yang pecah, yang rusak dan sebagainya. Itu sangat dikenang oleh orang-orang di sana," kata Ilham saat berbincang dengan ERA.id di rumahnya di kawasan Antapani, Bandung, Jawa Barat.

Adapun Aidit remaja ternyata juga menjadi orang yang sangat peduli dengan masjid. Bahkan ia juga menjadi muazin atau orang yang mengumandangkan azan di masjid.

"Aidit sendiri di usia remajanya itu adalah seorang muazin yang baik sekali, dan orang yang sangat peduli dengan masjid," katanya. 

 Aidit berbicara pada rapat umum pemilihan PKI, 1955. (Foto: Commons Wikimedia)

Menginjak usia 16 tahun, Aidit merantau ke Jakarta. Ia pun berguru pada Ali Sastroaminjoyo dan HOS Cokroaminoto. Hingga akhirnya ia tertarik dengan komunisme dan memilih menjadi komunis.

"Gini ya cara melihatnya menurut saya, enggak ada dalam AD/ART partai yang menyebutkan melarang anggotanya untuk beragama," kata Ilham.

Ia memastikan ayah dan ibunya sebagai seorang muslim. Bahkan Aidit juga diklaim sangat mengerti Islam, termasuk menjalankan ritual ibadah sebagai muslim.

"(Aidit) Seorang muslim. Dan dia mengerti bener agama Islam itu mengerti benar. Istrinya seorang muslim bener. Ketika kita berpuasa, saya masih ingat, kita puasa semuanya," katanya.

Menurutnya, dalam paham komunisme memang tak dilarang untuk beragama. Tapi emang diakuinya komunisme melihat agama sebagai candu. Teori ekonomi milik Karl Marx menjelaskan bagaimana kerusakan tatanan masyarakat karena kapital. Akibatnya juga muncul kemiskinan.

"Mereka percaya dengan teori itu, dan tidak percaya bahwa agama bisa menyelesaikan itu. Membentuk dunia baru itu, menurut Marxisme adalah harus dengan cara teori ekonomi seperti itu. Jadi Marxisme itu sepenuhnya bicara tentang teori ekonomi," katanya.

Lalu bagaimana dengan anggota PKI lainnya?

Ilham menyebut Njoto dan Lukman beragama dengan baik sekali. Bahkan mereka juga bersahabat dengan ketua partai Katolik. Mereka juga saling berkunjung saat perayaan hari keagamaan.

"Ketika lebaran ketika natal dan sebagainya. Jadi soal agama itu soal kalian lah itu masing-masing. Tapi kalau soal partai, ini adalah garis partai," katanya. 

Ia mengklaim PKI tak pernah melarang anggotanya beragama. Sehingga agama tetap dijalankan, tapi juga memegang ajaran marxisme.

 D.N. Aidit dan delegasi asing dalam HUT ke-45 Partai Komunis Indonesia. (Foto: Commons Wikimedia)

"Simple saja karena komunisme mempercayai bahwa membuat dunia lebih baik itu dalam ajaran Marx sama sekali tidak menyebutkan kata Tuhan. Itu yang bertabrakan dengan kaum agamawan yang mengatakan bahwa sepenuhnya menjadi lebih baik dunia itu kalau semua beribadah dengan baik, semua beragama dengan baik. Maka terjadi benturan di situ," katanya.

Menurutnya, karena ada perbedaan pendapat tersebut, akhirnya orang mengidentikkan komunis sebagai ateis.

"Kalau menurut saya, orang komunis itu selalu bilang agamamu ya agamamu saja. Kita juga punya agama kok, ya jalankan saja. Tapi kami (PKI) memegang ajaran marxisme. Itu kira-kira kenapa disebutkan ateis itu dasarnya di situ," katanya.

>