Nusantara Jadi Nama Ibu Kota Baru, Dosen Filsafat UGM Dukung Jokowi: Justru Merujuk Luar Jawa

ERA.id - Nusantara dipilih Presiden Joko Widodo sebagai nama ibu kota negara yang baru. Nama Nusantara pun menuai polemik mengenai pengertian dan asal usulnya.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Akhyat, menjelaskan kata Nusantara bukan hanya muncul pada masa Majapahit, tapi sejak masa kerajaan Singasari yakni untuk merujuk wilayah pulau luar.

“Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara, pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura. Keempat wilayah itu juga termasuk wilayah Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatra, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan, pengaruhnya sampai Champa, Cambodia, Annam dan Siam," kata Arif.

"Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yg sekarang disebut Indonesia. Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif, dalam pernyataan UGM Kamis (20/1).

Menurut dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) itu, kata Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Nusantara hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa.

“Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan. Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis  secara komprehensif dan multidisipliner. Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” paparnya.

Presiden Soekarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, keinginan Soekarno memindahkan IKN saat itu pasti dengan motif yang berbeda dari langkah Presiden Joko Widodo sekarang. Berbagai motif dan alasan melatarbelakangi perpindahan IKN seperti IKN pindah ke Yogyakarta 1946, karena kondisi Jakarta secara politik tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.

Adapun gagasan IKN hendak dipindah Soekarno pada 1957 ke Palangkaraya juga sangat mungkin karena intrik politik militer lewat gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga IKN (Jakarta) tidak aman.

“Jadi  persoalan perpindahan IKN ini bukan sekadar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Lebih jauh lagi,  kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai  ahistoris dan bersifat politis,” jelasnya.

Menurutnya, nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila dipilih nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.

“Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi ibu kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” pungkasnya.

Kami juga pernah menulis soal Bupati Langkat Jadi Tersangka Suap, Kata Gubsu Edy: Kita Tunggu Saja KPK, Tahu-tahu Salah Pula Kamu bisa baca di sini

Kalo kamu tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya!