ERA.id - Jika pernah menonton dan ngefans dengan sitkom berjudul "Bajai Bajuri", maka sudah pasti kenal dengan Mat Solar. Aktor utama yang dipanggil Bajuri dalam film itu, hingga kini masih dipanggil sebagai Mat Solar. Kenapa sih?
Ternyata, nama Mat solar punya sejarah yang menarik di baliknya. Sejatinya, nama Mat solar bukanlah nama asli, melainkan cuma nama panggung yang dipakai oleh Nasrullah.
Sejarahnya begini, Nasrullah yang lahir di Jakarta pada 4 Desember 1962 memulai kariernya sebagai seorang aktor teater dalam Teater Mama di TVRI pada tahun 1978-1982. Di sana, ia memerankan tokoh utama yakni Mat Solar.
Anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Muh Ali Sidik (alm) dan Rosani itu mengawali kariernya sejak duduk di bangku kelas II SMP. Pada tahun 1976, Teater Mama hanya menjadi ajang berkumpulnya remaja yang akan manggung jika diundang acara tujuh belasan di kampung atau di sekolah-sekolah.
Belakangan, teater ini menjadi alat kritik penguasa Orde Baru. Setelah berhenti beberapa tahun dari TVRI, Teater Mama coba kembali dihidupkan pada tahun 1990. Namun sayang, programnya dihentikan karena kurang mendapat sambutan. Nama Mat Solar pun tenggelam. Walau begitu, Mat Solar tidak hilang, nama panggung itu terus dipakai.
Akhirnya, beberapa lama vakum, Nasrullah kembali. Usai malang melintang berpolitik, Nasrullah hadir lagi di televisi dengan membawa humor yang segar dan jenaka pertama kali di Bajai Bajuri dan terakhir menjadi Bang Sulam dalam sinetron "Tukang Bubur Naik Haji".
Selain itu, ia juga pernah mengisi slot aktor dalam "Senggal-Senggol" (1996) di RCTI, "Sorga Di Bawah Telapak Kaki Ibu" (SCTV), "Raja Sawer" (ANTV), dan "Luv" (RCTI). Tak hanya itu, dia juga pernah berpartisipasi di Radio Suara Kejayaan (1986) dan menjadi manajer produksi di Bens Radio (1990).
Mengapa nama Mat Solar malah ngetop di Bajai Bajuri? Karena di sanalah ia menunjukkan kematangan bermain perannya dengan berhasil mengocok perut penonton.
Lingkungan Bajuri akhirnya membawa masyarakat merasakan hidup dalam keluarga yang sederhana, penuh problema, hingga bertahan hidup karena lelucon-lelucon kecil khas warga menengah ke bawah.