ERA.id - Bagi orang-orang di Kota Makassar, lebih luas di Sulawesi Selatan, kata 'tolok' dianggap sebagai jagoan. Kata itu bisa tersusun dalam kalimat: Siapa tolok dalam film ini?
Tolok dianggap sebagai bahasa Makassar, atau bahasa Bugis, atau bahasa adat suku lain yang ada di Sulawesi Selatan.
Tolok juga, secara budaya pergaulan, diartikan sebagai pemimpin sebuah kelompok yang dikenal bernyali.
Namun yang pasti, tolok adalah nama tokoh pemberani dari Makassar. Ulasannya ada dalam buku Bandit Sosial di Makassar, Jejak Perlawanan I Tolok Daeng Magassing yang ditulis M. Nafsar Palallo.
Gerakan I Tolok berlangsung antara tahun 1914-1917, kisahnya juga dicatat oleh Abdul Razak Dg. Patunru, Muhammad Arfa, Rahman Arge.
Tolok inilah yang menentang penjajah Belanda pada zaman kolonial. I Tolok lahir di Limbung, Kabupaten Gowa. Namanya melegenda karena melawan Belanda.
Ia memimpin sebuah kelompok untuk menjarah, merampok, dan menyerang Belanda. Gerakan I Tolok muncul 9 tahun pasca ekspedisi militer Belanda pada tahun 1905.
Ekspedisi itu kemudian menyebabkan peralihan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal ke tangan Hindia Belanda.
Dari sana, tersemailah bibit perlawanan. Apalagi Belanda datang menguras sektor perkebunan dan pertanian di daerah jajahannya.
Perlawan itu berubah jadi gerakan bandit yang tidak terorganisir. Belanda yang merespons, lantas menggerakkan kekuatan militer untuk membasmi mereka.
Anehnya, masyarakat di bawah jajahan Belanda saat itu, bukannya ketakutan dan ngacir dengan bedil, malah semakin menunjukkan taringnya. Mereka resisten.
Seperti dikisahkan Massiara Daeng Rapi dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan (1985).
Dan dalam buku Nasaruddin Koro dalam buku Ayam Jantan Tanah Daeng, Siri dan Pesse, dari Konflik Lokal ke Peratungan Lintas Batas (2006).
Masyarakat bergerak mengadang dan merampok kompeni. Hasil rampokan berupa uang dan lainnya lantas dibagi kepada rakyat kecil yang sangat membutuhkan.
Semua itu atas kerjaan dan perintah I Tolok Dg Maggasing dan pasukan intinya yang bergelar 'pagorra patampuloa (perompak 40 orang)'.
Sosoknya lihai menghimpun kekuatan. Di beberapa titik seperti di Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, dan sebagian Maros, disimpan orang-orangnya.
Yang perlu diingat, usai merampok, gerombolan I Tolok kembali ke tengah masyarakat dan berbaur menjadi rakyat biasa. Kadang mereka bersembunyi dan dilindungi rakyat, jika polisi kolonial mencari mereka.
Lama-kelamaan, puncak pergolakan sosial terjadi pada tahun 1916. Pos-pos pajak pemerintah dan rumah pejabat-pejabat pemerintah belanda, diserang. Gerakan I Tolok memancing huru-hara sosial.
Akhir kisah, I Tolok Daeng Maggasing gugur dalam keadaan tragis di Limbung, Gowa. Mayatnya dipertontonkan kepada rakyat di tanah kelahirannya.
Semua demi mematahkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kejadian ini tak terlepas dari pengkhianat yang menemaniu I Tolok.
Meski telah tiada, semangat dan kegigihannya menjadi personifikasi bagi perjuangan menentang penjajahan dan ketidakadilan sosial. Nama I Tolok kemudian mulai melegenda menjadi satu kata khusus bagi jagoan dalam bahasa Bugis-Makassar.