ERA.id - Sejarah etnis Rohingya atau etnis Rohingya masih menjadi hal yang membuat masyarakat penasaran sebab komunitas ini tak ada habisnya mendapat perlakuan yang tidak baik dari Myanmar. Orang-orang ini kemudian keluar dari Myanmar dan menjadi imigran di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Beberapa waktu lalu, imigran Rohingya kembali masuk ke Indonesia melalui Aceh. Untuk diketahui, Rohingya merupakan istilah yang merujuk pada komunitas minoritas beragama Islam yang sebagian besar ada di negara bagian Rakhine (Arakan), Myanmar (Burma).
Sejarah Etnis Rohingya
Dikutip Era dari eprints.umm.ac.id, sejumlah sejarawan menyebutkan, kata “rohingya” berasal dari bahasa arab “rahma” yang berarti ‘pengampunan’. Kata tersebut merujuk pada kisah pedagang Arab yang terancam hukuman mati yang dijatuhkan oleh Raja Arakan pada abad ke-18. Meski demikian, penduduk Arakan sulitan mengucapkan kata “rahma” sehingga menyebut “raham”. Kata tersebut kemudian berubah menjadi “rohang” hingga akhirnya menjadi “rohingya”.
Rohingya merupakan komunitas migran dari Bangladesh yang telah tinggal di Arakan, Myanmar, selama ratusan tahun. Rohingya telah menjadi komunitas yang sangat lama menetap di sebuah wilayah yang kemudian menjadi bagian dari Myanmar. Tak heran jika komunitas ini seharusnya memperoleh hak-hak dasar, terutama status kewarganegaraan.
Sementara, dilansir Kompas, keberadaan Rohingya di Myanmar (Burma) bermula pada abad ke-7. Arakan (saat ini negara bagian Rakhine) menjadi tujuan bagi orang-orang dari India. Lokasi Rakhine ada di sisi barat Myanmar dan berbatasan dengan Teluk Benggala (Bay of Bengal). Negara bagian ini tepat di seberang Benggala, India.
Rakhine menjadi wilayah yang sangat strategis sebab menjadi pusat perdagangan dan pintu masuk ke Myanmar. Pedagang dari berbagai wilayah datang ke Rakhine, termasuk pedagang-pedagang muslim dari Arab. Oleh sebab itu, etnis Rohingya terbentuk dari keturunan pedagang Arab yang akhirnya memutuskan menetap di Rakhine dan orang-orang muslim dari Benggala.
Masa Kolonial Inggris
Pada tahun 1824—1886 India dan Burma (Myanmar) merupakan daerah jajahan Inggris. Para penjajah dari Eropa itu datang dengan membawa imigran Benggali dari wilayah Chittaging yang berbatasan langsung dengan Burma bagian barat. Orang-orang tersebut dibawa untuk bekerja di perkebunan Arakan.
Oleh sebab itu, Inggris memiliki kebijakan terhadap kaum Benggali dan Rohignya di Burma. Pada masa tersebut, Inggris menjadikan muslim Rohingya sebagai kaum mayoritas di sejumlah kota besar, seperti Rangoon, Akyab, Bassein, dan Moulmein.
Meski demikian, masyarakat Burma di bawah penguasaan Inggris tidak nyaman dengan imigrasi tersebut. Etnis mayoritas Burma melakukan pengusiran terhadap muslim Rohingya. Akhirnya, komunitas muslim Rohingya lari ke Burma bagian utara.
Masa Kolonial Jepang
Pada tahun 1942—1943, Jepang berhasil mengalahkan Inggris dan menduduki Burma. Wilayah kekuasaan Inggris di wilayah tersebut akhirnya dikuasai Jepang, termasuk daerah muslim Rohingya. Pada masa tersebut, Jepang mendiskriminasi muslim Rohingya.
Setelah kalah, Inggris kembali melakukan penyerangan terhadap Jepang menggunakan strategi gerilya yang disebut V Force. Dalam hal ini, penduduk muslim Rohignya juga melakukan perlawanan terhadap Jepang. Bisa dibilang, muslim Rohingnya punya peran penting dalam proses kemerdekaan Burma.
Pada Oktober 1947, Konferensi London digelar untuk membahas kemerdekaan Burma. Hasilnya, pada 4 Januari 1948 Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Burma.
Pada tahun 1947 Aung San meninggal karena dibunuh lawan politiknya. Ketika itu, ayah dari Aung San Suu Kyi itu merupakan pemimpin Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL). Akhirnya wakil presiden AFPFL, U Nu, dipilih sebagai perdana menteri Burma.
Dikutip dari Burma Yang Penuh Pergolakan (2011), kepentingan politik diatur oleh pemerintah pusat Burma. Status kewarganegaraan komunitas muslim di Burma tidak pernah dijamin, padahal, para pemeluk Islam di Burma telah mendapatkan empat kursi di parlemen.
Pada masa awal kemerdekaan, Perdana Menteri U Nu telah mengecewakan muslim Rohingya sebab warga muslim tidak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas pada draf konstitusi Burma. Sementara, berdasarkan AFPFL, semua muslim Burma diperlakukan sama dengan etnis Burma yang lain. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak memberikan jaminan bagi umat muslim.
Penindasan terhadap Etnis Rohingya
Diskriminasi terhadap etnis Rohingya mencapai puncaknya saat pemerintah Myanmar menghapus Rohingya dari daftar etnis dan ras di Myanmar yang bisa dilihat dalam UU Kewarganegaraan Burma 1982. Negara tersebut punya 135 etnis, sedangkan Rohingya tidak menjadi salah satunya.
Terjadi pula pembantaian etnis Rohingya di Rakhine yang merupakan hasil dari transformasi politik Myanmar masa tersebut. Operation King Dragon atau Operation Naga Min pada 1978 menjadi salah satu bentuk diskriminasi terang-terangan yang dilakukan oleh Myanmar terhadap Rohingya. Sekitar 200.000—250.000 orang melarikan diri ke Bangladesh akibat operasi tersebut.