ERA.id - Keberadaan Masjid Raya Al Jabbar kini menjadi daya tarik baru bagi masyarakat Jawa Barat terutama Kota Bandung. Namun, ada pengunjung masjid yang mengeluh karena banyak anak-anak yang mandi di kolam maupun tempat cuci kaki untuk para jemaah.
Merespons fenomena tersebut, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Karim Suryadi mengatakan, ada atau tanpa kemunculan Masjid Raya Al Jabbar, ruang publik memang dibutuhkan. Bahkan, Karim menilai ruang publik di Kota Bandung itu sempit.
"Ruang publik itu memang dibutuhkan, di Kota Bandung itu memang sempit (ruang publik)," kata Karim melalui sambungan telepon, Senin (2/1/2023).
Sementara terkait dengan fenomena anak yang bermain di kolam maupun tempat cuci kaki di Masjid Raya Al Jabbar, Karim menilai anak dan air itu seperti ikan dengan air. Sehingga, para orang tua pasti akan senang dan merasa bebas ketika melihat anaknya sibuk bermain.
"Jadi menurut saya kebutuhan ruang publik itu mutlak di Kota Bandung," ucapnya.
Kendati begitu, ia tak menampik bahwa Masjid Raya Al Jabbar memiliki fungsi sebagai wisata religi. Namun, fungsi sekunder itu bersifat mendukung dan jangan sampai keberadaan ruang publik di Masjid Raya Al Jabbar itu mengalahkan fungsi utama sebagai tempat ibadah.
"Keberadaan ruang publik, halaman, tempat parkiran itu pendukung bagi fungsi utama masjid sebagai sarana peribadatan. Nyaman iya, indah iya tapi jangan kenyamanan dan keindahan masjid itu malah merusak fungsi utamanya sebagai tempat peribadatan," imbuhnya.
Menurut Karim, keberadaan pusat perbelanjaan di Kota Bandung harus disoroti. Sebab, pusat perbelajaan tidak toleransi karena sama sekali tidak menyediakan ruang publik.
"Di salah satu pusat perbelanjaan yang memiliki halaman yang luas tetapi tidak diperuntukan bagi publik malahan dipakai untuk kios-kios," tuturnya.
Hal tersebut, berbanding terbalik dengan kondisi di luar negeri. Pusat perbelanjaan di luar negeri itu menyediakan ruang publik untuk masukann sembari berdiskusi ditemani nongkrong sembari minum kopi maupun teh.
"Kedainya ada di dalam, kopi atau tehnya dibawa ke sana, kita rileks saja. Belum lagi pedestriannya begitu lebar," imbuhnya.
"Kalau larangan berjualan di depan pusat perbelanjaan saya setuju, kalau ada larangan orang ngobrol, diskusi, duduk di depan mall, saya tidak setuju karena itu ruang publik," lanjutnya.
Ia menegaskan, permasalahan serius di Kota Bandung itu bagaimana pemerintah mengeluarkan izin pembangunan pusat perbelajaan tetapi harus disertakan berapa ruang publik yang disediakan untuk masyarakat. Hal itu pun harus ditegaskan dengan aturan yang berlaku.
"Jangan hanya ada di proposal pembangunan, tetapi abai (ruang publik). Bagaimana caranya pusat perbelanjaan itu menyediakan ruang publik," tegasnya.
"Jadi ini masalah serius, bukan hanya tempat bermain tapi ruang publik untuk perjumpaan segenap warga. Di mana mereka saling berbicara secara informal, jujur, tanpa bias. Pemprov Jawa Barat dan Pemkot Kota Bandung harus menambah ruang publik," pungkas Karim.