Bapak di Makassar Perkosa Anaknya dari Umur 7 hingga 15 Tahun, MUI Sulsel Geram

| 07 Oct 2025 06:23
Bapak di Makassar Perkosa Anaknya dari Umur 7 hingga 15 Tahun, MUI Sulsel Geram
ILUSTRASI korban pelecehan seksual.

ERA.id - Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan, Prof Muhammad Muammar Bakry meminta aparat menghukum bapak yang memperkosa anaknya di Makassar dengan hukuman terberat. 

"Sebaiknya disanksi seberat-beratnya itu, ayah (pelaku) itu, sebaiknya bisa berlapis (pasalnya). Pertama, melakukan tindakan pemaksaan. Kedua, melakukan tindakan perzinahan," kata Bakry, Selasa (7/10/2025).

Hal tersebut menyusul kasus bapak inisial MA (38) di Kota Makassar yang keji memperkosa anak kandungnya sejak usia 7 tahun hingga umurnya 15 tahun. Mirisnya, tersangka melakukan perbuatan bejat itu dalam keadaan mabuk.

Ia menekankan, dari pendekatan keagamaan, semua agama menolak dan mengecam tindakan seperti itu. Nilai-nilai agama yang anut, terutama agama Islam, sudah sangat jelas menggariskan tentang keharaman perbuatan tersebut, 

"Apalagi ada usur pelecehan, pemaksaan sampai kepada pemerkosaan dan seterusnya. Karena itu sudah sangat jelas syar'i dalam ukuran keharaman itu," tuturnya. 

Dengan kejadian itu, ini menjadi tantangan bagi umat beragama, apakah umat beragama ini menjadikan agama yang dianut sebagai pedoman hidup, atau malah sebaliknya. Masalahnya, tidak semua penganut beragama mengamalkan agamanya secara normatif maupun aplikatif. 

Mengenai status anak korban yang diperkosa ayah kandungnya apakah bisa dikawinkan, kata Muammar, ajaran Islam dalam fiqih tidak diperbolehkan kepada laki-laki yang tidak halal, apalagi punya hubungan darah   

"Jadi, anak itu adalah anak ibu, jadi tidak boleh dikaitkan (ayah kandung sebagai suami). Ia bukan (menjadi) istri, tetap sebagai anak. Tidak bisa dikawinkan," papar Rektor UI Makassar ini menekankan.

Bila menarik aturan di masa lalu persoalan seperti ini, lanjut dia, mendapat hukuman sangat berat bahkan diasingkan dalam keluarga tidak boleh dalam satu lingkungan maupun rumah. 

"Kalau orang-orang itu dulu, juga dalam konsep fiqih ada. Orang seperti ini diasingkan, tidak boleh lagi tinggal di situ seharusnya. Jadi, tidak lagi ada di situ, lebih aman diasingkan keduanya, istilahnya dibuang begitu," katanya lagi.

Kendati demikian, tidak bagus bila dikatakan mesti di hukum mati atas perbuatannya. Namun, karena di Indonesia ada undang-undang tersendiri mengatur tentang sanksinya. 

"Jadi, harusnya kita merujuk kepada Undang-undang kita, hukuman bagi pemerkosa, kemudian pelecehan anak, dan kekerasan, tindakan kekerasan kepada anak. Jadi berlapis (pasal) dan juga lebih ke sanksi sosialnya," ujarnya kembali menekankan.

Rekomendasi