ERA.id - Praktik kawin kontrak di daerah Puncak, yang berada di antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, sudah lama menjadi rahasia umum bagi sebagian orang.
Tentu saja soal ini banyak pula yang belum tahu. Nah, olehnya, tim ERA mengorek informasi tentang praktik ini. Semuanya ternyata didasari karena masalah ekonomi.
Kesimpulan itu didapat usai ERA mewawancarai seorang perempuan berumur 34, yang sengaja dirahasiakan namanya. Tepatnya pada tahun 2003, ia sudah menjadi objek kawin kontrak.
"Saya memulai umur 17 tahun. Masih sekolah," katanya saat diwawancarai khusus di sebuah tempat di Kabupaten Cianjur.
Saat itu, ia memulai pekerjaannya karena ditawari oleh teman sekolahnya. Narasumber kami mengaku, kalau ia sempat berpikir akan tawaran tersebut.
"Aku enggak langsung iyakan, karena aku harus berfikir dulu."
Narasumber kami bilang, ia berpikir selama sepekan. Merasa cocok, akhirnya ia bersepakat untuk menjalani pekerjaan tersebut.
Ia pun tidak berdiri sendiri, ada muncikari yang mengatur pekerjaannya. "Ada muncikarinya. Diiming-imingi masalah uang. Waktu pertama sih kalau disebutin mas kawin Rp5 juta."
Selain itu, kata narasumber kami, dari suami kawin kontraknya itulah, ia mendapatkan uang jajan yang cukup banyak selama sehari. Soal sampai kapan ia menjalani perkawinan, ia mengaku hanya seminggu.
"Uang sehari-hari Rp500 ribu selama seminggu. Uang talak Rp8 juta. Belum dibagi sama 3 orang muncikarinya, per orang dapat Rp1 juta. Saya dapat bersih Rp5 juta."