Kawin Kontrak Berujung Kekerasan Terhadap Perempuan, Puan Janji RUU TPKS Segera Disahkan

| 24 Nov 2021 10:10
Kawin Kontrak Berujung Kekerasan Terhadap Perempuan, Puan Janji RUU TPKS Segera Disahkan
Puan Maharani (Dok. Istimewa)

ERA.id - Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti maraknya praktik kawin kontrak yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan. Dia menjanjikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan dan menjadi payung hukum untuk melindungi perempuan dari tindakan kekerasan.

Hal tersebur merupakan respons atas kasus kekerasan yang dialami seorang perempuan asal Cianjur yang disiram air keras hingga tewas oleh suami kontraknya.

"Lewat RUU TPKS, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan bisa dicegah. Karena itu kami di DPR sedang berupaya agar RUU TPKS yang sedang dibahas bisa segera disahkan," kata Puan melalui keterangan tertulisnya yang dikutip pada Rabu (24/11/2021).

Puan menjelaskan, saat ini RUU TPKS masih dalam pembahasan. Perlindungan terhadap perempuan menjadi salah satu cakupan dalam RUU ini mengingat perempuan menjadi mayoritas korban kekerasan seksual.

Selain melalui pembentukan regulasi, Puan juga meminta pemerintah mencegah menjamurnya praktik kawin kontrak yang banyak menimbulkan korban dari pihak perempuan. Pemerintah diharapkan tegas terhadp praktik tersebut karena sangat meresahkan masyarakat.

"Ketegasan dari pemangku kebijakan sangat diharapkan sebab masyarakat sudah banyak yang resah dengan maraknya kasus kawin kontrak, khususnya di daerah pedesaan," kata Puan.

"DPR RI sendiri terus berkomitmen memberikan perlindungan kepada perempuan melalui berbagai regulasi yang berpihak kepada perempuan," imbuhnya.

Berdasarkan laporan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) tercatat ada 299.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di sepanjang 2020. Sedangkan pada periode Januari-Juli 2021 terdapat 2.500 kasus. Angka tersebut dinilai masih cukup tinggi.

Berdasarkan data tersebut, Puan mengungkapkan, bentuk kekerasan yang kerap dilaporkan yaitu kekerasan fisik, seksual, psikis, hingga ekonomi. Sementara maraknya kawin kontrak dinilai berisiko menambah panjang daftar terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

"Walaupun banyak kejadian kekerasan, praktik kawin kontrak, khususnya dengan WNA, masih saja terus terjadi. Padahal praktik kawin kontrak ini sangat rentan menjadikan perempuan sebagai korban," kata Puan.

Oleh karenanya, Puan meminta pemerintah serius menangani persoalan kawin kontrak ini. Menurutnya, pencegahan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan komitmen bersama dari berbagai kementerian dan instansi terkait.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Panitia Kerja (Panja) Willy Aditya menegaskan, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hanya mengatur mengenai tindakan kekerasan saja. Sedangkan yang menyangkut seksualitas merupakan ranah privat warga negara.

Hal ini merespons masih adanya masukan sejumlah pihak yang mnginginkan agar RUU TPKS tak hanya mengatur kekerasan seksual, tetapi juga ikut mengatur kebebasan dan penyimpangan seksual.

Willy menjelaskan, kekerasan seksual dan kebebasan serta penyimpangan seksual merupakan dua hal yang berbeda. Sehingga tidak bisa seluruhnya diatur dalam ranah yuridis.

"Yang negara hari ini mau atur itu tindakan kekerasan. Seksualitas itu kan hal yang privasi. Kalau hal yang lain-lain itu nggak bisa negara intervensi," kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selaa (23/11/2021).

Kebebasan seksual dan penyimpangan seksual, menurut Willy merupakan masalah sosial yang sebaiknya diselesaikan secara sosial dan sosiologis.

"Ya itu (kebebasan seksual dan penyimpangan seksual) problem sosial, problem sosiologis itu benar, exactly benar. Ya kita selesaikan secara sosial dan sosiologis dong, nggak musti semua dipaksain lewat yuridis," tegas Willy.

Rekomendasi