ERA.id - Kesiapsiagaan masyarakat kawasan Gunung Merapi menjadi contoh bagi daerah lain dalam menghadapi bencana alam.
Hal itu dikemukakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto saat menetapkan kawasan Merapi untuk puncak peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB).
"Peringatan HKB adalah media untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan kita sebagai bangsa, khususnya masyarakat yang ada di daerah rawan bencana, untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi bencana," ujarnya dalam konferensi pers Menuju Puncak Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022 di Sleman, Senin (25/4/2022).
Suharyanto juga menjelaskan bahwa peran aktif seluruh pihak pentaheliks sangat penting untuk kefektifan pengurangan risiko bencana.
Artinya, masyarakat harus bisa berpartisipasi dalam meningkatkan kapasitas, mulai dari tingkat individu, keluarga, hingga komunitas.
"Masyarakat bukan hanya sebagai objek saat bencana tiba, tapi juga harus bertindak sebagai subjek," tambahnya.
Ia menjelaskan puncak peringatan HKB 2022 akan dilakukan di kawasan Gunung Merapi karena masyarakat di sekitar Merapi dinilai sudah memahami langkah dan konsep apabila terjadi bencana. Pengalaman bertahun-tahun masyarakatnya yang tinggal harmonis di kaki Merapi membentuk kesadaran dan kearifan lokal.
"Masyarakat sudah paham langkah-langkah yang harus dilakukan apabila Merapi mengalami erupsi," kata mantan Pangdam Brawijaya itu.
Suharyanto mencontohkan, salah satu langkah masyarakat Merapi yang cukup unik adalah adanya pengungsian untuk hewan ternak. Tidak hanya berfokus pada keselamatan warga, namun juga keberlangsungan ekonomi jangka panjang bagi masyarakat itu sendiri.
Suharyanto berharap, kesiapsiagaan masyarakat di Gunung Merapi dapat menjadi contoh daerah lain, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di gunung berapi lainnya, mengingat Indonesia memiliki 127 gunung api yang masih aktif.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menambahkan, peran BMKG dalam memberikan peringatan dini harus didukung penuh oleh peran masyarakat.
Ia menjelaskan, peringatan dini yang dikirimkan oleh BMKG selama 24 jam akan masuk ke sistem-sistem yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Namun, apabila di daerah sistemnya tidak berjalan karena berbagai faktor, maka korban akan tetap timbul.
"Semua aspek yang ada pada bagian hulu tidak akan ada artinya jika aspek hilirnya tidak berjalan. Menjadi PR bersama bagaimana masyarakat bisa memahami informasi peringatan dini tersebut," jelas Dwikorita.
Menurutnya, HKB menjadi penting karena, setelah masyarakat memahami informasi tersebut, belum tentu menjamin mereka mau melakukan upaya-upaya yang direkomendasikan. HKB dapat menjadi salah satu media edukasi dan sosialisasi respon awal kesiapsiagaan menghadapi bencana.
"Harapannya peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana dapat menjadi tempat kita untuk menguji dan melatih hingga akhirnya menjadi budaya yang tersistem dalam struktur kehidupan masyarakat kita," tutup Dwikorita.