ERA.id - Mari mengenal Rini Sugianto, animator perempuan yang namanya menghiasi kredit animasi di sejumlah film Hollywood seperti "The Adventure of Tintin: The Secret of Unicorn" (2011), "Iron Man 3" (2013), "Avengers: Age of Ultron" (2015), hingga "Ready Player One" (2019).
Berawal dari kecintaannya untuk menggambar, bermain dengan komputer, dan menyukai detail, membuatnya menekuni pendidikan hingga program master di Academy of Art University di San Francisco, bidang animasi.
Detail, menurut wanita asal Lampung itu merupakan hal yang paling penting saat menganimasikan objek agar terlihat nyata. "I love watching details. Kita pelajari bagaimana cara orang berkedip, kalau kita kan mikir mata menutup saja, padahal enggak se-simple itu," kata Rini melalui webinar Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu (25/7/2020) kemarin.
Proyek film animasi pertamanya adalah "The Adventure of Tintin: The Secret of Unicorn" (2011), yang disutradarai oleh Stephen Spielberg dan diproduseri oleh Peter Jackson. Demi proyek ini, Rini meninggalkan Amerika Serikat dan pindah ke Selandia Baru, bergabung di studio animasi Weta Studio, yang dimiliki oleh Jackson.
"Pindah ke New Zealand (untuk 'Tintin') itu kayak pilihan terbaik untuk karirku. Ketika diberitahu ini untuk project 'Tintin' rasanya senang banget, karena riset untuk karakternya enggak lama, karena sudah familiar," kata perempuan yang menempuh pendidikan sarjana di jurusan Arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung tersebut.
Bekerja untuk dua sineas kondang seperti Spielberg dan Jackson juga meninggalkan kesan yang tak terlupakan untuknya. "Rasanya keren banget. Waktu itu dia (Spielberg) sebagai director bagus banget dan enak banget kerja bareng sama dia," kata Rini.
Suka dan duka
Dengan proyek pertamanya di film animasi 3D "The Adventure of Tintin: The Secret of Unicorn", Rini mengaku terdapat sejumlah gerakan dan detail yang menantangnya. Menurutnya, pergerakan yang paling susah, adalah menganimasikan tokoh hewan, seperti karakter Snowy dalam film "Tintin". Namun, bukan berarti menganimasikan karakter manusia lebih mudah, karena penonton pasti akan lebih jeli akan pergerakan manusia.
Terlebih, Tintin merupakan karakter komik yang sudah diketahui banyak orang dan memiliki fanbase besar. Rini dan teman-teman animator lainnya harus dapat menggerakkan Tintin serealistis mungkin, tanpa mengurangi pesonanya yang akrab di komik maupun serial animasi 2D-nya.
"Untuk Tintin, biar keliatan realistis tapi juga sesuai karakternya di komik agar sesuai dengan personality-nya. Menyamakan (style) dengan animator yang lain tidak terlalu susah karena patokannya adalah karakternya Tintin," kata Rini.
"Dari awal sudah ada brief dan guide line-nya. Kalo gerak gini, ekspresinya seperti ini, jadi kita semua match," ujarnya melanjutkan.
Mengadaptasi komik, buku cerita, dan animasi 2D ke bentuk animasi 3D bisa menjadi sesuatu yang semakin disuka maupun sebaliknya, menurut Rini. Ia menambahkan, cerita adalah hal esensial dari pembuatan film animasi, mau seperti apa pun jenisnya.
Dari sisi animator sendiri, banyak hal yang menjadi risiko pekerjaan, seperti bekerja dengan waktu yang lama (long hours). Tak jarang ia harus bekerja selama 12-14 jam per hari selama beberapa bulan. "Banyak yang enggak survive juga. Susah untuk balance dengan life and family. Fokus harus banget, kerjaannya enggak nyantai, dan sangat kompetitif," kata Rini.
"Terutama untuk masuk studio besar, itu susah sekali. Banyak yang bagus, junior animator yang bagus pun banyak," kata dia.
Meski demikian, Rini mengatakan peluang untuk meniti karir sebagai animator profesional di kancah internasional, bukanlah hal yang mustahil. Berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, ia menilai bahwa studio maupun pencari animator di negara tersebut tak mempermasalahkan dari mana animator tersebut menempuh pendidikan, asalkan memiliki portofolio yang baik.
"Di US, kita tidak lihat animator itu lulusan mana, yang dilihat semua hasil kerjaan atau portofolio. Mau lulusan SMA, kalau portofolionya bagus, ya dia yang di-hire," kata Rini.
Animator yang telah belasan tahun berkarir di dunia animasi tersebut membagi kiat utama untuk para animator lokal yang ingin bersaing secara profesional hingga ke luar negeri. "Tips yang paling utama, taruh kerjaan yang paling bagus di portofolio kita. Misalnya selama belajar animasi bikin 10 klip, dan yang menurut kita paling bagus hanya dua klip saja, ya itu yang dimasukkan," ujar Rini.
Lulusan Academy of Art University, San Francisco itu kemudian menambahkan, "Kita di-judge berdasarkan karya yang paling jelek. Jadi kasih dua karya terbaik. Biarpun (berdurasi) pendek tidak apa-apa, daripada (berdurasi) panjang namun tidak bagus."
Proyek selanjutnya
Meski demikian, dengan mengenang perjalanannya dengan karakter Tintin, membuatnya agaknya merasakan sedikit percikan kebahagiaan. Waktu malam di California pun seperti tak mengurangi semangatnya menyambut pertanyaan dan menceritakan kiprahnya yang dimulai dari petualangan sang jurnalis dan anjing putihnya itu.
"Tintin membawa pengaruh besar bagi saya dan karir saya. Senang rasanya bisa kembali melihat klip-klip saya (di proyek film 'Tintin') lagi setelah sekian lama," ujar Rini sembari tertawa kecil.
Belasan tahun berkarir di dunia animasi pun membuatnya semakin tergerak untuk mencoba media lain untuk menyalurkan bakatnya tersebut. "Selama setahun ke depan mungkin tidak ikutan project film atau game dulu, karena sudah lama di film dan game, mau coba medium yang baru. Masih animasi, tapi different medium," pungkasnya.