Apa Itu Stockholm Syndrome? Simak Pengertian dan Pencegahannya di Sini

| 29 Nov 2023 22:01
Apa Itu Stockholm Syndrome? Simak Pengertian dan Pencegahannya di Sini
Ilustrasi (Foto: Pixabay)

ERA.id - Apa itu stockholm syndrome? Sindrom stockholm merupakan mekanisme koping (coping mechanism) yang pada umumnya dialami oleh orang yang mengalami penculikan. Korban akan memiliki perasaan positif terhadap penculik atau pelaku dari waktu ke waktu. Kondisi ini juga dapat dialami korban dalam beberapa situasi lain misalnya pelecehan anak, pelecehan pelatih-atlet, pelecehan hubungan, dan perdagangan seks.

Apa yang Menyebabkan Stockholm Syndrome?

Selama ini para peneliti tidak memahami secara pasti mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.  Namun, bisa jadi keberadaan sindrom ini merupakan teknik coping nenek moyang peradaban di masa lalu. Di mana pada situasi tertentu, tawanan memiliki ikatan emosional dengan penculiknya dengan tujuan meningkatkan peluang bertahan hidup.

Teori lain menjelaskan bahwa situasi tawanan maupun pelecehan sangat emosional. Korban dapat secara “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya. Ketika pelaku tidak menyakitinya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memiliki pandangan bahwa pelakunya adalah orang yang penuh welas asih.

Ilustrasi (Foto: Pixabay by StarFlames)

Faktor Risiko Stockholm Syndrome

Beberapa faktor yang berpotensi menempatkan seseorang mengalami kondisi Stockholm Syndrome antara lain:

Toxic Relationship

Orang yang menjalani hubungan toksik cukup berpotensi mengembangkan keterikatan emosional dengan pelakunya. Pelecehan seksual, fisik, dan emosional, serta inses, dapat dialami selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, korban dapat mengembangkan perasaan positif atau simpati dalam dirinya untuk pelaku.

Pelecehan Anak

Pelaku kerap kali mengancam korbannya dengan cara menyakiti, bahkan tidak sungkan-sungkan menghabisi nyawanya. Korban mungkin mencoba mematuhi pelaku agar tidak menyulut emosi pelaku.

Pelaku juga dapat memperlihatkan kebaikan yang bisa dianggap sebagai perasaan yang tulus. Hal ini kemudian berpoetnsi membingungkan anak (korban) dan mengakibatkan mereka tidak memahami sifat negatif positif dari hubungan tersebut.

Perdagangan Seks

Orang-orang yang diperdagangkan kerapkali bergantung pada pelakunya untuk kebutuhan, seperti makanan dan air. Ketika pelaku memberikan hal tersebut, korban mungkin mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelakunya.

Mereka bisa jadi juga menolak bekerja sama dengan polisi karena khawatir akan terjadi pembalasan atau berpikir bahwa mereka harus melindungi pelaku kekerasan agar diri mereka sendiri tetap aman.

Pembinaan Olahraga

Salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi adalah terlibat dalam olahraga. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun melalui pembinaan olahraga selalu berakhir negatif.

Teknik pelatihan yang keras berpotensi menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa perilaku pelatih mereka sebagai bentuk kebaikan mereka sendiri. Hal inilah yang pada akhirnya akan menjadi bentuk sindrom Stockholm.

Cara Mendiagnosis Stockholm Syndrome

American Psychiatric Association tidak secara resmi mengakui atau memasukkan sindrom ini sebagai suatu kondisi penyakit atau gangguan kesehatan mental tertentu.  Hal ini dikarenakan belum ada penelitian pasti terkait kondisi ini.

Namun, semua penyedia layanan kesehatan memahami perilaku yang dihasilkan dari situasi traumatis. Kriteria untuk PTSD atau gangguan stres akut dan beberapa perawatan kerapkali serupa dengan sindrom stockholm.

Komplikasi Stockholm Syndrome

Sindrom Stockholm yang tidak ditangani dengan tepat dapat menimbulkan masalah emosional yang lebih luas. Orang yang mengalami sindrom ini dapat mengembangkan kondisi PTSD, kondisi traumatis, masalah pada harga diri, dan juga mengembangkan kondisi trust issue.

Gejala Stockholm Syndrome

Orang yang mempunyai sindrom stockholm menunjukkan beberapa gejala:

  • Simpati untuk keyakinan dan perilaku penculiknya.
  • Perasaan positif terhadap para penculik atau pelaku kekerasan.
  • Perasaan negatif terhadap polisi atau figur otoritas penegak hukum  lainnya.
  • Mengalami gejala lain yang mirip dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) termasuk; kilas balik, merasa tidak percaya, jengkel, gelisah atau cemas, tidak mampu bersantai atau menikmati hal-hal yang sebelumnya dapat dinikmati, dan sulit dalam melakukan konsentrasi.

Pengobatan Stockholm Syndrome

Secara teknis, sindrom ini belum diakui sebagai kondisi psikologis, sehingga tidak ada bentuk pengobatan standar. Namun, seperti pengobatan untuk PTSD, pengobatan sindrom ini umumnya melibatkan upaya konseling ke psikiater dan bentuk terapi psikologis, salah satunya pemberian obat-obatan.

Bagaimana Mencegah Stockholm Syndrome?

Sayangnya, pencegahan sindrom ini tidak dapat dilakukan. Apalagi sindrom ini dapat dikatakan langka dan kurang bisa didiagnosis secara pasti. Sindrom Stockholm ini tidak terbatas hanya dialami oleh korban penculikan, tetapi juga orang-orang yang mengalami pelecehan fisik dan mental.

Demikianlah ulasan tentang apa itu stockholm syndrome, semoga penjelasan di atas bermanfaat.

Ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu mau tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…

Rekomendasi