ERA.id - Edukasi terkait glaukoma penting untuk dipahami banyak orang agar kasus kebutaan akibat glaukoma dapat ditekan. Setidaknya hal itu dikatakan oleh dokter dari Rumah Sakit Mata Cicendo Dr Elsa Gustianty.
"Tujuannya adalah meningkatkan awareness atau kesadaran masyarakat terhadap penyakit glukoma sehingga mereka terdorong untuk memeriksakan diri," ujarnya dalam "Cegah Kebutaan Akibat Glaukoma" yang disiarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Jakarta, seperti dikutip Antara.
Elsa menyebutkan, secara global sekitar 80 juta orang mengidap kondisi itu. Sedangkan di Indonesia, kata Elsa, glaukoma adalah penyebab kebutaan terbanyak nomor dua. Adapun penyebab terbanyak adalah katarak.
Selain untuk deteksi dini, edukasi juga penting agar pasien mau datang ke dokter untuk kontrol. Menurutnya, ada dampak psikologis yang ditimbulkan penyakit itu. Ketika seseorang divonis terkena glaukoma, kata dia, maka ada pasien yang tidak mau kontrol karena merasa usahanya sia-sia saja, karena tidak akan ada perubahan.
"Ngapain ya diobatin?, ngapain ya dioperasi kalau tetap tidak bisa lihat?. Padahal kita itu usahanya adalah mempertahankan. Memang bukan mengobati menjadi kembali seperti dulu, tapi mencegah supaya tidak lebih buruk," ucap Elsa.
Dia menuturkan glaukoma dapat menyerang siapa saja, namun tidak dapat diobati, karena kondisi tersebut adalah efek dari proses degeneratif, layaknya rambut yang memutih.
Elsa mengatakan terdapat faktor risiko yang dapat mempercepat dan memperparah glaukoma yaitu umur, penyakit vaskuler antara lain hipertensi dan diabetes, penggunaan steroid, serta faktor keluarga.
Dalam kesempatan yang sama, dia menjelaskan sejumlah steroid dapat menciptakan rasa nyaman misalnya dexamethasone, prednisolon, dan prednison. Ketika dipakai, katanya, mata merah menjadi putih dan radang langsung menghilang, sehingga kerap disalahgunakan orang yang punya alergi.
Sejumlah orang yang biasa memakai lensa kontak memakai obat-obatan itu hanya untuk menghilangkan gatal di matanya, hingga tanpa sadar setelah pemakaian bertahun-tahun, tekanan pada bola matanya tinggi.
Pada glaukoma, kata dia, tekanan di mata disebabkan oleh air yang tidak dapat disirkulasi mata ke pembuluh darah.
Karena produksi air berlebih, katanya, kemudian ditambah dengan hambatan di penyaluran itu, volume cairan meningkat hingga akhirnya menekan syaraf-syaraf serta pembuluh darah di belakang mata, hingga akhirnya syaraf-syaraf itu mati perlahan.
Dia menyebut saraf memiliki keunikan sendiri, sehingga ketika ada satu syaraf yang mati, maka di sekitarnya juga ikut mati. Oleh karena itu, katanya, glukoma bersifat progresif.