ERA.id - Fajri terbaring selama delapan bulan di kasurnya yang kian sempit dari hari ke hari untuk menopang tubuhnya. November tahun lalu berat badannya “baru” 120 kg. Suatu pagi kakinya terluka saat menyela motornya sebelum berangkat kerja. Sejak saat itu ia harus bed rest di rumahnya di Karang Tengah, Kota Tangerang.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, berat badannya terus naik, sementara punggungnya hanya bisa terbaring. Juni 2023, usia Fajri sudah 27 tahun, berat badannya sudah 280 kg, dan pintu kamarnya harus dijebol untuk mengevakuasinya ke RSUD Kota Tangerang. Sejumlah orang dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang datang ke sana membawa forklift untuk mengangkat Fajri ke truk.
Fajri lalu dirujuk ke RSCM untuk penanganan lanjutan. Namun, sayangnya setelah dirawat selama 14 hari, pasien obesitas itu dinyatakan meninggal dunia akibat infeksi pada Kamis (22/6/2023).
“Kasus ini kasus yang berat, sulit karena memang sudah dalam kondisi yang lanjut tetapi kita terus berusaha semuanya dengan upaya medis yang paling maksimal,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Layanan Operasional RSCM Renan Sukmawan.
Fajri hanya satu dari sekian banyak pengidap obesitas di Indonesia. Sebelumnya juga sempat viral di media sosial balita 16 bulan bernama Kenzi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang punya berat badan 27 kilogram dan terpaksa memakai baju anak usia 10 tahun.
Menurut keterangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2022, satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas, sedangkan satu dari lima anak berusia 5-12 tahun juga mengalaminya.
Sementara itu, obesitas hanya satu dari tiga masalah gizi yang menghantui penduduk kita. Dua sisanya adalah stunting (keterlambatan pertumbuhan yang ditandai tinggi badan yang lebih pendek dari tinggi badan normal seusianya) dan wasting (berat badan yang rendah atau kurus). Hingga tahun lalu misalnya, berdasarkan data dari Kemenkes, satu dari lima anak Indonesia mengalami stunting.
Masalah pemenuhan gizi yang buruk ini ikut berdampak pada tumbuh kembang masyarakat Indonesia, baik fisik maupun psikis. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, stunting terbukti menurunkan kemampuan intelektual anak di sekolah.
"Stunting bahkan membuat anak tidak mampu tumbuh tinggi optimal dan mudah terkena penyakit seperti central obesity (gemuk di bagian tengah tubuh) dan penyakit metabolik lainnya," ujarnya.
Dalam lingkup yang lebih luas lagi, stunting ikut berperan mempengaruhi postur tubuh orang Indonesia yang cenderung pendek. Mengacu pada survei dari organisasi independen World Population Review (WPR) tahun 2023, Indonesia menempati posisi ke-182 dari 199 negara yang disurvei berdasarkan tinggi badan penduduknya, dengan tinggi rata-rata orang Indonesia berkisar 158 cm.
Prof. Dodik Briawan dari Departemen Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam sebuah diskusi pernah menyampaikan bahwa pertumbuhan anak Indonesia pada usia 0-6 bulan setara dengan pertumbuhan anak ras Kaukasoid yang umumnya terdapat di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru.
“Pada saat 0-6 bulan, saat anak Indonesia dengan ASI saja, maka pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan anak bule,” ujarnya dalam forum Mari Menjadi Ibu Melek Nutrisi Demi Wujudkan Generasi Emas 2045. Ia menambahkan baru setelah lewat 6 bulan pertumbuhan anak Indonesia menurun. Penyebabnya karena kualitas makanan pendamping ASI (MPASI) yang buruk.
Berdasarkan hal tersebut, terlepas dari rasnya, penduduk Indonesia sebetulnya berpotensi mengalami peningkatan tinggi badan rata-rata seperti di Jepang atau Korea Selatan. Menurut studi tahun 2016 berjudul A Century of Trends in Adult Human Height, penduduk Jepang mengalami peningkatan tinggi badan hampir 10 cm dalam rentang waktu 40 tahun dari 1965-2005.
Sementara itu, Korea Selatan menjadi bangsa Asia paling jangkung dengan peningkatan tinggi badan rata-rata mencapai 15 cm selama rentang 1896-1996. Tren peningkatan tinggi badan juga mulai terjadi di China dan Thailand. Namun, di Indonesia pertumbuhan tinggi badan tercatat stagnan.
Hal ini wajar terjadi bila melihat prevalensi (jumlah keseluruhan kasus pada waktu tertentu di suatu daerah) stunting di Indonesia yang masih di atas 20% hingga tahun lalu, terpaut jauh dibandingkan Korea Selatan yang prevalensinya sudah turun ke angka 2,5% pada 2009.
Anak stunting berisiko mengalami obesitas di masa depan
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, stunting termasuk salah satu persoalan gizi buruk yang dihadapi Indonesia, sama dengan obesitas yang ikut berperan merenggut nyawa Fajri. Meskipun terlihat kontradiktif, stunting dan obesitas nyatanya saling berhubungan satu sama lain.
Menurut dr. Nadia Opmalina yang punya pengalaman di rumah sakit daerah hingga swasta dan sering menghadapi keluhan malnutrisi, anak yang mengalami stunting berisiko mengalami obesitas di masa mendatang.
“(Anak yang mengidap stunting) punya metabolisme yang lebih lambat dibandingkan anak normal,” ujarnya kepada ERA. “Karena metabolisme yang lambat ini, lemak yang seharusnya dibakar oleh tubuh malah tetap tersimpan di dalam sel dan jaringan.”
Selain itu, biasanya orang tua dengan anak yang mengalami stunting cenderung memberi makan banyak karbohidrat agar tubuh anaknya terlihat berisi. “Tapi tanpa menghiraukan aturan pemenuhan gizi dan nutrisi anak,” jelas dokter yang akrab disapa Alin itu.
Untuk mencegah stunting dan masalah pemenuhan gizi lainnya, masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) menjadi penentuan. “1.000 HPK anak adalah waktu paling kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan anak,” tulis ahli gizi Nanik Endah Pujiastuti.
Masa 1.000 HPK terdiri dari 270 hari selama kehamilan (9 bulan) dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan. “Pola makan gizi seimbang harus diterapkan mulai dari masa kehamilan, dilanjutkan dengan pemberian ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MPASI),” lanjut Nanik.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengungkapkan beberapa faktor yang memengaruhi stunting terutama mencangkup perilaku masyarakat yang mengabaikan gizi seimbang dan kebersihan, pernikahan muda, dan kehamilan yang tidak dipersiapkan dengan baik.
Selain itu, kasus "4 Terlalu" (hamil di usia terlalu muda, hamil di usia terlalu tua, hamil terlalu sering, dan hamil terlalu banyak) dalam kehamilan dan kelahiran juga berkontribusi menjadi penyebab anak terkena stunting.
"Stunting dapat dicegah dengan memastikan kesehatan calon ibu dan janin serta memastikan anak mendapat asupan gizi seimbang di 1.000 hari pertama kehidupannya," katanya.
Sindiran Jokowi dan target kurangi stunting
Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi stunting tinggi di dunia, di mana tahun lalu angkanya masih 21,6% (turun dari 24,4% pada 2021), sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar prevalensi stunting harus di bawah 20%.
Pada tahun 2020, posisi Indonesia hanya setingkat di bawah Timor Leste dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia Tenggara. Maka dari itu, pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting di Indonesia turun ke 14% pada 2024 sesuai standar WHO.
Pemerintah telah menetapkan lima pilar dalam pencegahan stunting yang meliputi komitmen bersama, kampanye nasional, koordinasi pusat dan daerah, ketahanan pangan dan gizi, dan pemantauan serta evaluasi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penanganan stunting merupakan program prioritas pemerintah yang didukung oleh pusat maupun daerah. Bahkan, sebanyak 23 kementerian dan lembaga dikerahkan untuk berkolaborasi menyukseskan pencegahan stunting. Apakah berhasil?
Melihat tren penurunan angka stunting dari tahun 2020, target yang ingin dicapai pemerintah memang bukan hal yang mustahil. Namun, bukan berarti berbagai program yang diupayakan pemerintah untuk memenuhi asupan gizi penduduk Indonesia tanpa cela sama sekali.
Pemerintah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk penanganan stunting di Indonesia. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan pada 2022 ada dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Kementerian dan lembaga mendapat alokasi sebesar Rp34,1 triliun, sedangkan sisanya digunakan untuk belanja pemerintah daerah. Apakah anggaran sebesar itu sudah terserap dengan baik?
Baru beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo menyinggung para pejabat yang dianggap membuang-buang anggaran penanganan stunting untuk program-program absurd yang tak penting.
Dalam Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (14/6/2023), ia memerintahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengarahkan belanja di kementerian dan pemerintah daerah agar lebih produktif.
Jokowi mencontohkan jika terdapat anggaran Rp10 miliar untuk penanganan stunting, maka seharusnya, sebanyak Rp8 miliar digunakan untuk program yang berorientasi hasil yang dapat menurunkan stunting seperti pemberian makanan penuh nutrisi bagi masyarakat. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan.
"Baru saja minggu yang lalu saya cek di APBD di Mendagri. Coba saya mau lihat Rp10 miliar untuk stunting. Saya cek, perjalanan dinas Rp3 miliar, rapat Rp3 miliar, penguatan pengembangan Rp2 miliar, yang untuk bener-bener beli telur itu tak ada Rp2 miliar. Kapan stunting-nya akan selesai kalau caranya seperti ini?" ucapnya.
Kita semua tentu berharap target yang ingin dicapai pemerintah (prevalensi stunting 14% pada 2024) tercapai. Namun, ketika hal itu terwujud, bukan berarti pekerjaan rumah pemerintah selesai. Sebab berdasarkan ketentuan WHO, prevalensi stunting dianggap rendah jika angkanya di bawah 10%. Dan untuk menuju ke sana, pemerintah masih punya jalan panjang yang akan semakin panjang jika anggarannya hanya dihabiskan untuk rapat dan jalan-jalan.