ERA.id - Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang ditembak mati oleh polisi di Australia teridentifikasi pernah mengikuti program deradikalisasi. Bocah itu juga menjadi pelaku penikaman seorang pria di kota Perth, pantai barat Australia.
Menurut laporan AFP, anak laki-laki itu telah berpartisipasi dalam program Melawan Ekstremisme Kekerasan yang didanai pemerintah federal selama dua tahun. Namun dia tidak memiliki catatan kriminal dan tidak memiliki hubungan dengan jaringan remaja ekstremis di Sydney.
“Tantangan yang kita hadapi terhadap orang-orang seperti remaja berusia 16 tahun dalam insiden ini adalah bahwa dia diketahui mempunyai pandangan yang berbahaya dan berpotensi menjadi radikal, seperti ini mereka dapat bertindak dalam waktu singkat tanpa peringatan dan menjadi sangat berbahaya," kata Menteri Kepolisian Australia Barat Paul Papalia, Senin (6/5/2024).
Mengenai potensi anak tersebut menjadi radikal, Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan dia khawatir dengan media sosial yang mendorong posisi ekstrem.
“Ini adalah dinamika yang bukan hanya menjadi masalah bagi pemerintah. Ini adalah masalah bagi seluruh masyarakat kita, baik itu ekstremisme kekerasan, misogini, dan kekerasan terhadap perempuan. Ini adalah masalah yang tentu saja saya khawatirkan,” kata Albanese.
Komisaris Polisi Australia Barat Col Blanch mengatakan anak laki-laki itu menelepon polisi pada Sabtu malam dan mengatakan dia akan melakukan tindakan kekerasan, namun tidak mengatakan di mana. Beberapa menit kemudian, seorang masyarakat melapor ke polisi melihat anak laki-laki itu membawa pisau di tempat parkir toko perangkat keras.
"Tiga petugas polisi merespons, satu bersenjatakan pistol dan dua lagi membawa senjata bius. Polisi mengerahkan kedua senjata bius namun mereka gagal melumpuhkan anak tersebut sebelum dia terbunuh oleh satu tembakan," kata Blanch.
Diketahui korban penikaman adalah seorang pria berusia 30-an yang mengalami luka di bagian punggung. Dia berada dalam kondisi serius namun stabil di rumah sakit Perth.
Blanch mengatakan anggota komunitas Muslim setempat telah menyampaikan kekhawatirannya kepada polisi tentang perilaku anak tersebut sebelum dia dibunuh pada hari Sabtu.
Polisi mengatakan penikaman tersebut memiliki ciri-ciri serangan teroris namun belum menyatakannya sebagai serangan teroris.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keputusan tersebut termasuk apakah polisi negara bagian memerlukan sumber daya federal, termasuk agen mata-mata domestik Organisasi Intelijen Keamanan Australia.
Blanch mengatakan penyelidikan Kepolisian Australia Barat tidak memerlukan sumber daya federal tambahan dan dia yakin situasinya berbeda dengan yang terjadi di Sydney.
"Kita menghadapi masalah yang kompleks, baik masalah kesehatan mental maupun masalah radikalisasi online,” kata Blanch.
“Tetapi kami yakin dia bertindak sendiri dan saat ini kami tidak khawatir bahwa ada jaringan yang sedang berlangsung atau kekhawatiran lain yang mungkin terjadi di Sydney," sambungnya.
Komisaris Polisi New South Wales Karen Webb telah menyatakan penikaman terhadap seorang uskup dan pendeta Ortodoks Asyur di sebuah gereja Sydney pada tanggal 15 April sebagai tindakan teroris dalam beberapa jam.
Bocah yang ditangkap itu kemudian didakwa melakukan aksi teroris. Dalam penyelidikan selanjutnya, enam remaja lagi didakwa melakukan pelanggaran terkait teror.
Polisi menuduh ketujuh orang tersebut adalah bagian dari jaringan yang “mengikuti ideologi ekstremis kekerasan yang bermotivasi agama.”
Serangan terhadap gereja beberapa waktu lalu ini merupakan serangan ketiga yang diklasifikasikan oleh pihak berwenang Australia sebagai aksi teroris sejak tahun 2018.
Pada bulan Desember 2022, tiga fundamentalis Kristen menembak mati dua petugas polisi dan seorang warga sekitar dalam sebuah penyergapan di dekat komunitas Wieambilla di negara bagian Queensland. Para penembak kemudian dibunuh oleh polisi.
Pada bulan November 2018, seorang Muslim kelahiran Somalia menikam tiga pejalan kaki di pusat kota Melbourne, menewaskan satu orang, sebelum polisi menembaknya hingga tewas.