ERA.id - Kedutaan Besar Rusia di Belanda menyebut kasus kecelakaan MH17 ditunggangi oleh politisasi. Hal ini mengakibatkan proses penyelidikan tidak mungkin dilakukan secara menyeluruh dan independen.
Dalam pernyataan tertulisnya, kedutaan itu mengatakan tingkat politisasi dalam kasus kecelakaan MH17 sangat tinggi. Dampak dari tingginya politisasi itu menyebabkan penyelidikan secara penuh tidak mungkin dilakukan.
"Tingkat politisasi yang tinggi terhadap kasus MH17 tidak memungkinkan dilakukannya penyelidikan internasional secara penuh, menyeluruh dan independen, seperti yang disyaratkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 2166," kata kedutaan itu, dikutip TASS, Rabu (17/7/2024).
Kedutaan itu juga menambahkan bahwa keadaan sebenarnya dari tragedi itu masih menjadi misteri. Kedutaan juga menyoroti proses penyelidikan teknis dari Dewan Keamanan Belanda dan penyelidikan kriminal oleh Tim Investigasi Gabungan (JIT) tidak memenuhi kriteria DK PBB.
Dalam kasus ini, kedutaan menyoroti pihak Rusia yang tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam proses penyelidikan. Bukan hanya itu, sejumlah data yang diberikan oleh Rusia juga tidak diperhitungkan.
"Akibatnya, kesimpulan yang diperoleh dengan cara ini mengandung sejumlah besar ketidakakuratan dan inkonsistensi, dan banyak pertanyaan yang terkait langsung dengan keadaan bencana masih tetap terbuka," tulis pernyataan tersebut.
Kedutaan juga menuding Den Haag secara konsisten melindungi pihak berwenang Kiev, dan dengan sengaja mengabaikan fakta apa pun yang dapat mengindikasikan tanggung jawab pihak berwenang atas bencana itu.
"Pendekatan ini tidak berfungsi untuk menegakkan kebenaran, namun hanya mengarah pada politisasi lebih lanjut mengenai masalah ini," imbuhnya.
Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sejak bencana itu terjadi, tidak ada pihak yang mempertanyakan ke Ukraina soal penolakan memberikan data radar dan rekaman percakapan layanan pelacakan pernerbangan.
Penolakan itu, kata kedutaan Rusia, juga tidak dapat menjelaskan hilangnya pengawasan lalu lintas udara Ukraina yang berada di sana pada hari kejadian.
"Masalah tanggung jawab Kiev untuk tidak menutup wilayah udara di zona permusuhan, tempat sistem pertahanan udara angkatan bersenjata Ukraina, termasuk Buks, dikerahkan, juga tidak dianalisis dengan benar," tegasnya.
Dalam sepuluh terakhir masalah Ukraina yang tidak menutup wilayah udara di zona konflik bersenjata di Donbass sudah berulang kali diangkat di Belanda, termasuk oleh anggota parlemen. Pengajuan ini juga didukung oleh anggota Kamar Kedua Jenderal Negara Pemerintah Belanda agar proses penyelidikan bisa digelar dengan benar.
Sayangnya sejak diajukan pada Oktober 2019, pengajuan itu ditunda dan tidak ada jawaban pasti hingga saat ini.
"Pihak berwenang Belanda dengan keras kepala menghindari pembahasan topik ini, dan berpura-pura bahwa hal itu tidak ada relevansinya dalam masalah ini," pungkasnya.
Diketahui penerbangan Malaysian Airlines MH17 dari Amsterdam ke Kuala Lumpur jatuh di Wilayah Donetsk Ukraina pada 17 Juli 2014, menewaskan 298 orang dari sepuluh negara. Tim investigasi gabungan (JIT) yang terdiri dari perwakilan Australia, Belgia, Malaysia, Belanda dan Ukraina, dibentuk untuk melakukan penyelidikan kriminal atas kecelakaan tersebut.
Kasus ini disidangkan di Pengadilan Distrik Den Haag. Pada November 2022, pengadilan memutuskan tiga orang bersalah dalam kasus tersebut dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mereka secara in absensia. Mereka adalah mantan pemimpin milisi Republik Rakyat Donetsk (DPR) Igor Girkin, yang juga dikenal sebagai Igor Strelkov, dan bawahannya Sergey Dubinsky, Oleg Pulatov, dan Leonid Kharchenko.
Oleg Pulatov, terdakwa keempat dan satu-satunya yang kepentingannya diwakili oleh tim pengacara, dibebaskan karena kurangnya bukti.
Pada bulan Februari 2023, JIT mengumumkan penangguhan penyelidikannya terhadap kecelakaan MH17, dengan alasan kurangnya alasan untuk menuntut individu baru.