ERA.id - Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin terancam dipecat dari jabatannya. Ancaman pemecatan ini lantaran Srettha mengangkat seorang mantan narapidana ke jajaran menteri kabinet.
Ancaman pemecatan terhadap Srettha ini muncul ketika Mahkamah Konstitusi negara itu menuduhnya melanggar aturan etika. Pelanggaran ini setelah Srettha mengangkat Pichit Chuenban, seorang pengacara yang dekat dengan keluarga mantan perdana menteri miliarder Thaksin Shinawatra sebagai menteri.
Padahal, Pichit Chuenban memiliki catatan kriminal dengan hukuman enam bulan penjara pada tahun 2008 atas kasus pelanggaran terkait korupsi.
Kasus ini muncul seminggu setelah pengadilan yang sama membubarkan partai politik oposisi utama kerajaan dan melarang mantan pemimpinnya, Pita Limjaroenrat, dari politik selama satu dekade.
Mundurnya Pichit dari jabatan ini juga diwarnai dengan tuduhan demi melindungi Srettha. Meski demikian Mahkamah Konstitusi tetap setuju untuk mendengarkan kasus tersebut, yang dimulai oleh pengaduan dari senator yang ditunjuk oleh tentara.
"PM telah mengusulkan kemungkinan perombakan kabinet jika ia tetap menjabat," menurut media lokal dilansir dari AFP, Senin (12/8/2024).
Apabila Srettha dicobot dari jabatannya, Pheu Thai harus mencalonkan kandidat baru untuk perdana menteri.
Sebelum terjun ke dunia politik, Srettha merupakan seorang pengembang real estat. Selama menjabat sebagai Perdana Menteri, ia mengeluarkan berbagai kebujakan yang menuai pertentangan.
Bahkan berdasarkan jajak pendapat bulan Juni menunjukkan bahwa mayoritas warga Thailand menolak agendanya.
Selama menjabat, ia telah berjanji mendukung kesetaraan pernikahan, yang diberlakukan pada bulan Juni setelah bertahun-tahun advokasi oleh komunitas LGBTQ.
Selain itu, usulannya untuk mengkriminalisasi kembali ganja dan mendistribusikan 10.000 baht kepada lebih dari 40 juta warga Thailand telah memicu kontroversi baik secara nasional maupun dalam koalisinya.
Kasus ini muncul saat para kritikus, termasuk Pita, memperingatkan agar tidak menggunakan pengadilan yang dipolitisasi sebagai senjata untuk menghancurkan partai politik.
Uni Eropa, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan kelompok hak asasi manusia mengecam keputusan pengadilan untuk membubarkan Partai Move Forward (MFP) milik Pita, dengan Uni Eropa mengatakan hal itu merusak keterbukaan demokrasi di Thailand.
Sementara itu, anggota MFP yang tersisa meluncurkan gerakan baru pada hari Jumat, bernama "Partai Rakyat", dengan ambisi membawa perubahan dalam pemilihan nasional berikutnya, yang dijadwalkan pada tahun 2027.
Thailand telah mengalami ketidakstabilan politik selama beberapa dekade, mengalami belasan kudeta sejak berakhirnya monarki absolut pada tahun 1932.