ERA.id - Pemimpin sementara Bangladesh menolak mengadakan pemilihan umum dalam waktu dekat setelah Sheikh Hasina mengundurkan diri. Penolakan itu didasari dengan dorongan reformasi menyeluruh yang dianggap belum tuntas.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus diangkat sebagai penasihat utama Bangladesh setelah pemberontakan yang dipimpin mahasiswa yang menggulingkan mantan perdana menteri Sheikh Hasina pada bulan Agustus.
Sejak diangkat sebagai pemerintah sementara, pelopor keuangan mikro berusia 84 tahun itu menghadapi tantangan yang samgat sulit dalam memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Tantangan itu membuat Yunus enggan menggelar pemilihan umum dalam waktu dekat.
"Tidak seorang pun dari kami yang bermaksud untuk bertahan dalam waktu yang lama," kata Yunus dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh surat kabar Prothom Alo, dilansir AFP, Selasa (8/10/2024).
Lalu, kata Yunus, sebagai pemimpin sementara, menjunjung reformasi di negara itu sangat penting untuk dilakukan. Tetapi dia menilai pemilihan umum yang dilakukan secara terburu-buru bukan solusi dari situasi yang terjadi di negara itu.
"Reformasi sangat penting. Jika Anda mengatakan, adakan pemilihan umum, kami siap untuk mengadakan pemilihan umum. Namun, akan salah jika mengadakan pemilihan umum terlebih dahulu," tegasnya.
Pemerintahan Hasina selama 15 tahun menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk penahanan massal dan pembunuhan di luar hukum terhadap lawan-lawan politiknya.
Menurut laporan awal Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 600 orang tewas dalam minggu-minggu menjelang penggulingan Hasina.
Pemerintahannya juga dituduh mempolitisasi pengadilan dan pegawai negeri, serta menggelar pemilihan umum yang tidak seimbang, untuk membongkar pengawasan demokratis terhadap kekuasaannya.
Berkaca dengan situasi politik itu, Yunus mengatakan bahwa ia mewarisi sistem administrasi publik yang rusak, yang memerlukan perombakan menyeluruh untuk mencegah kembalinya otokrasi di masa mendatang.
"Reformasi berarti kita tidak akan membiarkan terulangnya apa yang terjadi di masa lalu," ucapnya.
Selain menolak untuk menggelar pemilu dalam waktu dekat, Yunus juga menepis kritik terhadap banyaknya politisi, perwira polisi senior, dan loyalis Hasina lainnya yang ditangkap atas tuduhan pembunuhan setelah pemerintahannya digulingkan.
Diketahui, penangkapan tersebut telah memicu tuduhan bahwa pemerintahan sementara Yunus akan menggelar pengadilan yang dipolitisasi terhadap tokoh-tokoh senior dari rezim Hasina.
Namun Yunus mengatakan bahwa ia bermaksud agar pengadilan pidana yang dimulai terhadap mereka yang ditangkap tetap bebas dari campur tangan pemerintah.
"Setelah sistem peradilan direformasi, maka isu-isu akan mengemuka, tentang siapa yang akan diadili, bagaimana keadilan akan ditegakkan," katanya.
Setidaknya 25 wartawan, yang dianggap oleh lawan-lawan Hasina sebagai pendukung pemerintahannya ditangkap atas tuduhan kekerasan terhadap pengunjuk rasa sejak kejatuhannya.
Pengawas pers Reporters Without Borders telah mengutuk penangkapan tersebut sebagai pelecehan hukum sistematis. Namun Yunus bersikeras bahwa ia menginginkan kebebasan media.
"Tulislah sesukamu. Kritiklah. Jika Anda tidak menulis, bagaimana kita akan tahu apa yang terjadi atau tidak terjadi?" pungkasnya.