ERA.id - Kondisi ruang-ruang ICU di Kabul, Afghanistan semasa pandemi COVID-19 adalah mimpi buruk bagi dunia kedokteran. Sistem kesehatan negara yang remuk karena perang ini pun berpotensi kolaps.
Afghan-Japan Communicable Disease Hospital di area barat Kabul adalah satu dari dua fasilitas kesehatan untuk perawatan atas penyakit menular di ibukota Afghanistan. Terdapat 370 anggota staf medis di RS tersebut. Lulusan baru dari sekolah kedokteran baru-baru ini banyak bergabung setelah sejumlah dokter berpengalaman di RS tersebut berhenti bekerja beberapa bulan lalu karena khawatir pada ancaman virus korona.
Kini, ruang ICU seluas 92 meter persegi dan hanya berisi 13 tempat tidur harus menampung pasien COVID=19 yang rata-rata sudah dalam kondisi kritis. Dan lebih-lebh, banyak anggota keluarga pasien ikut berada di ruangan ICU tersebut.
Afghan patients’ breath through an Oxygen mask in Afghan-Japan special hospital for Covid-19 patients in Kabul, Afg, June 14, 2020. Ministry of Health reports a lack of oxygens matters in the Kabul Hospitals. After the ease of lockdown measurements,positive cases have been raised pic.twitter.com/m4teG9PiE3
— Afghan Multimedia Agency (@AgencyAfghan) June 15, 2020
Seperti dilaporkan di Associated Press, banyak anggota keluarga tak menggunakan masker ikut merawat pasien yang tergeletak di pembaringan. Beberapa saudara mereka bahkan akan ditugasi menjagi tangki oksigen akibat kekhawatiran bahwa tangki itu akan dicuri keluarga pasien lain. Saat ini terdapat kelangkaan atas apa saja, termasuk tabung oksigen.
Seorang warga Afghanistan yang ikut menjaga pasien di ICU, Assadullah, mengatakan bahwa dia sering tidak bisa tidur di dalam ICU karena harus menjaga tangki oksigen milik ayahnya. Di hari-hari terakhir ayahnya, seorang anggota keluarga dari pasien lain datang menemuinya dan mengancam akan merebut tangki oksigen yang ada di situ.
"Ayahmu sebentar lagi meninggal. Ayahku masih hidup, kata dia.. Dalam situasi seperti ini, bagaimana aku bisa membiarkan ayahku sendirian?" kata Assadullah, yang harus kehilangan sang ayah karena infeksi virus korona pada Selasa lalu.
Bagi direktur RS, Hakimullah Saleh, setiap staf medis adalah pahlawan yang menghadapi resiko jatuh sakit karena menyediakan perawatan intensif. Meski begitu, tak jarang mereka harus menghadapi ancaman dari banyak keluarga yang kecewa, yang merasa bahwa RS tersebut belum berupaya semaksimal mungkin.
Afghan-Japan hospital is the national center for treatment of Covid-19 patients.
Still the number of patients requiring inpatient treatment has not crossed the 50 bed capacity of the center.
The center is well equipped & the management & health staff behave professional. pic.twitter.com/FOroIOohGK
— Khushal Nabizada (@NabizadaKhushal) April 29, 2020
Seorang staf dokter berumur 32 tahun, Norzai, mengatakan bahwa ia mendapatkan diploma kedokteran pada tahun 2013 dan awalnya bekerja di beberapa RS swasta. Ia baru bergabung dengan RS Afghan-Japan setelah mendengar banyak staf medis yang mengundurkan diri. Norzai berkata bahwa, seperti banyak pekerja medis lainnya, ia terinfeksi COVID-19, namun, berhasil sembuh. Ia berkata bahwa ia menularkan penyakit itu ke beberapa anggota keluarganya, namun, untungnya mereka semua sembuh.
RS lainnya yang merawat pasien COVID-19 di Kabul adalah RS Ali Jenah yang didanai oleh Pakistan. Tersedia 200 tempat tidur, namun, fasilitasnya lebih terbatas. Sebuah ruang isolasi juga tersedia di asrama Universitas Kabul, namun, bangsal tersebut tidak merawat pasien COVID-19.
Menurut Kementerian Kesehatan Afghanistan, lebih dari 1.700 pekerja medis - 40 di antaranya dari RS Afghan-Japan - telah terinfeksi COVID-19 karena merawat pasien korona. Dua puluh di antara mereka meninggal dunia.
Afghanistan sendiri telah mencatat 35.000 kasus infeksi virus korona, di mana 1.094 pasien meninggal dunia.
Komite Penyelamatan Internasional bulan lalu melayangkan peringatan bahwa Afghanistan berada di tubir bencana kemanusiaan karena pemerintah setempat tidak mampu melakukan tes kepada 80% dari kasus infeksi korona. Kementerian Kesehatan setempat mengaku hanya mampu melakukan tes kepada 2.500 orang tiap harinya, turun dari 10.000 hingga 20.000 orang pada bulan lalu. Pemerintah kewalahan dan harus menolak permintaan tes banyak orang, dikarenakan rasio jumlah dokter di Afghanistan yang berjumlah 1 dokter untuk tiap 3.500 warga Afghanistan. Rasio ini hanya seperlima dari rata-rata global, seperti dikatakan oleh WHO.