ERA.id - Selama pandemi COVID-19, Afrika Selatan kesulitan mengimpor obat anti-retroviral (ARV) yang esensial bagi pengidap HIV. Lalu, bagaimana 7,7 juta orang di negara tersebut bertahan hidup ketika obat tersebut langka atau harganya terlampau tinggi?
Selama pandemi, harga obat ARV di Afrika Selatan bisa mencapai 48 dolar AS (Rp700.320). Sementara banyak orang terkena PHK akibat kondisi ekonomi yang melemah, banyak orang dengan virus HIV tak mampu membeli pengobatan yang harus mereka konsumsi secara rutin setiap hari.
Saat ini terdapat 7,7 juta orang yang terinfeksi virus HIV dan 62 persen di antaranya mengonsumsi obat ARV secara rutin, seperti dilaporkan oleh Associated Press. Angka di Afrika Selatan tersebut adalah yang terbesar di dunia.
Kondisi pandemi ditengarai menjadi penyebab membumbungnya harga obat ARV, tidak hanya di Afrika Selatan tapi juga di seluruh dunia. Pembatasan batas negara mempersulit impor obat ARV serta produksi dan distribusi lokal dari obat tersebut, tulis sebuah laporan dari UNAIDS.
Organisasi tersebut mendesak negara-negara untuk bergerak cepat menyelamatkan nyawa pasien HIV di kala pandemi ini. Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima menegaskan perlunya rencana untuk menghindarkan dampak harga obat yang terlalu tinggi dan sedikitnya jumlah obat retrovirus tersebut.
“It is vital that countries urgently make plans to mitigate the possibility & impacts of higher costs & reduced availability of antiretroviral medicines,” says @Winnie_Byanyima.
A UNAIDS study shows how the production & distribution of medicines have been impacted by #COVID19.
— UNAIDS (@UNAIDS) August 10, 2020
Pengidap HIV yang terinfeksi COVID-19 juka dua kali lebih rentan meninggal dunia, dibandingkan dengan populasi yang tidak mengidap HIV. Hal ini didapatkan dari studi terhadap angka kasus kematian di provinsi Western Cape di Afrika Selatan yang merupakan episentrum dari penyakit HIV di negara tersebut.
"Kami khawatir akan ada pertambahan jumlah kematian akibat infeksi sampingan seperti tuberkulosis (TB) dan infeksi lainnya," kata Dr. Nomathemba Chandiwana, seorang peneliti klinis HIV, kepada Associated Press.
Situasi klinik di Afrika Selatan juga miris dari dua sisi. Jumlah orang yang datang ke klinik di ibukota Johannesburg untuk mengambil pengobatan HIV telah turun sebanyak 10-20%. Sementara itu, ada beberapa klinik yang harus tutup karena perawat dan dokternya terinfeksi COVID-19.
"Beberapa klinik melayani 60-80 pasien per hari. Jadi, bila satu klinik tutup selama seminggu, ada banyak orang yang tidak menerima obat yang mereka perlukan. Ini ancaman serius," kata Chandiwana, seseorang yang bekerja untuk sebuah program di Universitas Witwaterstand.
"In many parts of the world, #COVID19 is colliding with the ongoing HIV epidemic. As the latest UNAIDS report shows, the HIV epidemic remains enormous, unfinished business,” says @UN Secretary-General @antonioguterres.
— UNAIDS (@UNAIDS) August 9, 2020
Kini, banyak pasien HIV di Afrika Selatan bergantung pada organisasi non-pemerintah (LSM) untuk mendapatkan obat mereka. Banyak orang menempuh perjalanan hingga beberapa kilometer, namun menemukan bahwa apotek yang mereka tuju sedang tutup. Dengan pandemi COVID-19 yang mencapai rekor global 20 juta kasus per Selasa (11/8/2020) dan tiap negara saling menutup diri untuk mengontrol tingkat penularannya, tiap negara dituntut untuk memiliki rencana darurat penyediaan obat ARV sehingga bisa memberi rasa aman bagi banyak pengidap HIV di seluruh dunia.