Sudah 200.000 'Bendera Kuning' Terpancang di Negeri Paman Sam Selama Pandemi COVID-19

| 23 Sep 2020 06:38
Sudah 200.000 'Bendera Kuning' Terpancang di Negeri Paman Sam Selama Pandemi COVID-19
Ilustrasi: tenaga medis. (Unsplash/Ashkan Forouzani)

ERA.id - Amerika Serikat melampaui satu tonggak baru semasa pandemi korona ketika di negaranya terdapat 200.000 kasus kematian akibat COVID-19, berdasarkan penghitungan oleh Universitas Johns Hopkins. Angka tersebut adalah yang tertinggi di dunia

Jumlah tersebut dilampaui AS per Selasa, (22/9/2020), dan angkanya terus bertambah. Pada Rabu pagi, lewat dashboard yang sama terlihat sudah ada 500 kasus kematian baru di Amerika Serikat.

Menjadi negara dengan jumlah kematian akibat COVID-19 yang tertinggi di dunia, AS diikuti oleh Brazil, India, dan Meksiko yang sama-sama memiliki angka kematian yang tinggi akibat COVID-19.

Jumlah kasus infeksi virus korona, dan kematian yang ditimbulkannya, di AS sempat menurun, namun, melonjak lagi mulai Juni. Berdasarkan analisa Brookings Institution atas kelompok OECD, yaitu organisasi negara-negara berpenghasilan tinggi, pandemi COVID-19 juga berdampak lebih parah secara bisnis dan kesehatan di AS ketimbang di negara-negara maju lainnya.

"Jumlah kasus infeksi virus di AS per September lebih tinggi 60 persen dibandingkan di negara-negara OECD, dan angka kematian lima kali lipat lebih tinggi," kata analisa yang sama.

Kasus infeksi COVID-19 tertinggi saat ini ada di negara bagian California di tepi barat AS, diikuti Texas dan Florida di tepi barat daya. Namun, muncul kekhawatiran mengenai tren kenaikan kasus korona di area 'Midwest', misalnya di negara bagian Iowa.

Saat ini, mendekati musim dingin yang diduga akan memperparah krisis pandemi, strategi yang digunakan para ahli kesehatan adalah mengedepankan tes cepat, penelusuran paparan COVID-19, dan karantina pasien. Seperti dilansir The Guardian, kebijakan 'work from home' tak bisa berbuat banyak dalam menanggulangi persebaran COVID-19.

Seorang epidemiolog dari John Hopkins Center for Health Security, Caitlin Rivers, mengatakan bahwa ia melihat munculnya klaster-klaster baru di seantero Amerika Serikat, "dan hal tersebut akan terus terjadi sampai kita memiliki vaksin."

Dilampauinya tonggak 200.000 jumlah kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat sendiri terjadi setelah awal September lalu muncul kabar bahwa Presiden Donald Trump sebenarnya sudah mengetahui betapa bahayanya virus SARS-CoV-2 yang menimbulkan COVID-19. Namun, seperti ditulis oleh jurnalis kawakan Bob Woodward, sang presiden "tidak ingin membesar-besarkan" hal itu, karena tidak ingin membuat warga panik.

Penanganan COVID-19 oleh Presiden Trump sendiri menjadi bulan-bulanan terutama oleh para ahli kesehatan dan politisi setempat. Trump dikenal menghindari memakai masker. Ia bahkan masih melakukan kampanye pilpres di ruangan tertutup meski sudah dihimbau otoritas kesehatan untuk menghindari pengumpulan massa di dalam ruangan. Trump baru terlihat memakai masker di depan publik pada tanggal 11 Juli lalu.

Seorang penasihat kesehatan di Gedung Putih, Dr Anthony Fauci, pada hari Selasa lalu mengatakan bahwa melampaui angka 200.000 kematian akibat COVID-19 terasa "sangat menyedihkan dan mencengangkan."

Secara ekonomi, AS juga terpuruk akibat pandemi korona ini. Pada awal September, COVID-19 telah memperlambat proses pemulihan ekonomi meski pada bulan lalu lapangan kerja sudah disuntikkan 1,4 juta pekerjaan baru dan angka pengangguran turun 8,4%. Namun, angka tersebut masih jauh lebih rendah daripada bulan-bulan sebelumnya.

Rekomendasi