ERA.id - Polisi Myanmar melepaskan tembakan ke udara dan mengaktifkan meriam air serta senjata peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa pada Selasa, (9/2/2021). Dalam aksi itu ribuan orang turun ke jalan memprotes aksi kudeta yang oleh junta militer diusung sebagai 'transisi menuju demokrasi'.
Setidaknya tiga orang yang berdemonstrasi di kota Naypyitaw terluka akibat terjangan peluru karet, kata seorang dokter yang dikutip Reuters.
Aksi demonstrasi, yang disebut-sebut menjadi yang terbesar dalam satu dekade terakhir, dipicu oleh kudeta militer pada 1 Februari lalu, di mana pemimpin sipil terpilih, Aung San Suu Kyi, ditahan beserta sejumlah anggota partai politiknya.
Aksi mogok massal terjadi di seluruh penjuru Myanmar, melibatkan para petugas kesehatan, guru dan pegawai negeri. Sejumlah rumah sakit, sekolah dan kantor-kantor pemerintahan dalam kondisi tanpa pegawai.
Dalam unjuk rasa di Naypyitaw, Selasa, saksi mata menuturkan bahwa polisi melepaskan tembakan ke udara sementara massa menolak membubarkan diri. Ini pun menjadi aksi protes di hari keempat secara berturut-turut.
Police fired around 50 rounds of rubber bullets and used water cannons to crackdown on protesters in Naypyidaw. #2021uprising pic.twitter.com/0UJsTbPa4r
— Myanmar Now (@Myanmar_Now_Eng) February 9, 2021
Reuters mendapat informasi sejumlah demonstran lari tunggang-langgang ketika polisi melepaskan tembakan ke udara.
Polisi juga mengaktifkan meriam air ke arah demonstran, yang kemudian dibalas para pengunjuk rasa dengan lemparan proyektil, demikian dilaporkan Reuters.
Penggunaan meriam air juga terekam dalam video rekaman aksi unjuk rasa di kota Bago, Yangon.
Di kota Mandalay, sedikitnya 27 demonstran telah ditahan oleh polisi.
Pergolakan warga Myanmar ini membuka kembali luka lama akibat masa kediktatoran junta militer selama hampir 50 tahun. Negeri tersebut sempat merasakan kepemimpinan sipil sejak tahun 2015, ketika Aung San Suu Kyi terpilih menjadi pemimpin. Namun, terbukti bahwa Tatmadaw, sebutan junta militer Myanmar, tak pernah melepaskan cengkeramannya pada negeri tersebut.
Menyusul pemilu yang dimenangkan oleh partai National League for Democracy (NLD) pada 8 November lalu, junta militer tampak sudah ancang-ancang untuk mengambil alih kendali negara.
"Kami sangat kecewa dan sedih saat memikirkan kenapa ini terjadi lagi pada kami," kata warga Yangon, Khin Min Soe, perihal kembalinya rezim militer di negeri itu.
Pada Senin, Jenderal Min Aung Hlaing, pimpinan junta, berjanji bahwa rezim yang ia pimpin pada saatnya akan menyelenggarakan pemilu. Namun dalam pidato pertamanya sejak menjalankan kudeta itu, ia berulang kali mengulang klaim tak berbukti bahwa pemilu November lalu diliputi kecurangan.
"Kami akan terus melawan," kata aktivis kaum muda Maung Saungkha dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters. Ia juga mendesak agar seluruh tahanan politik dibebaskan dan "kediktatoran" dihentikan.