Senjata Tak Bisa Selamatkan Aparat Myanmar dari Takhayul

| 05 Mar 2021 18:04
Senjata Tak Bisa Selamatkan Aparat Myanmar dari Takhayul
Seorang aparat naik ke atas truk untuk menurunkan jemuran pakaian ketika terjadi gelombang demonstrasi anti-kudeta di Myanmar. (Foto: Twitter)

ERA.id - Penggunaan kekerasan oleh aparat Myanmar terus mengalami eskalasi sejak aksi demonstrasi berdarah pada Rabu, di mana PBB menyatakan 38 warga sipil meninggal dunia.

Pada Kamis, (4/3/2021), pasukan militer dan polisi setempat dikabarkan menggunakan peluru tajam serta peluru karet untuk membubarkan demonstrasi.

Pengunjuk rasa, yang didominasi anak muda, masih turun ke jalan di tengah desing peluru dan siraman gas air mata.

Foto-foto yang beredar di media sosial memperlihatkan para demonstran berlindung di balik drum minyak hingga antena satelit. Gas pemadam kebakaran pun dipakai untuk mengganggu jarak pandang aparat.

Namun, yang unik, beberapa demonstran tampak bersembunyi di balik jemuran. Dari foto media Frontier Myanmar, seorang perempuan tampak mengawasi ke kejauhan sementara tangannya merapikan kain longyi, semacam sarung yang dipakai perempuan tradisional Myanmar.

Jemuran demonstran
Seorang perempuan tampak menggunakan jemuran sebagai alat perlindungan terhadap militer Myanmar, Kamis, (4/3/2021). (Foto: Frontier Myanmar)

Seorang pengguna Twitter, @Chanhtut93, melihat penggunaan jemuran itu sebagai sesuatu yang cerdas.

"Warga sipil menggantungkan kain longyi kaum perempuan di kawat jemuran sebagai cara yang jitu," kata dia.

"Kelompok Militer Myanmar telah dicuci otak hingga memiliki mentalitas toksik. Mereka yakin bahwa berjalan di bawah kain longyi perempuan bisa mengurangi kejantanan mereka."

Seorang pengguna Twitter lainnya, @Paing15Riddler, ikut menyetujui bahwa strategi menggantung jemuran bekerja dengan baik, misalnya, di kota Yangon, di mana polisi tampak susah-payah menurunkan jemuran lebih dulu sebelum melewati sebuah jalan.  Ia menyebut, "Polisi Myanmar sangat takut pada kain longyi perempuan (htamein) karena mereka terlalu percaya pada astrologi."

Percaya Astrologi dan Ramalan

Sentimen terhadap takhayul di Myanmar bukan sesuatu yang asing, justru banyak ditemui. Koran the Sydney Morning Herald (SMH) bahkan menyebut bangsa Myanmar merupakan salah satu yang paling dipengaruhi takhayul di dunia. "Dan para penguasa militer negara tersebut adalah yang kepercayaan takhayulnya paling parah di antara mereka," demikian tulis koran asal Australia itu.

Pemerintah Burma mengubah namanya sendiri menjadi Myanmar pada tahun 1989, di mana keputusan ini merupakan saran dari para peramal. Sementara itu, hukuman penjara di Myanmar biasanya terkait angka 11, angka yang dianggap keberuntungan bagi Than Shwe, jenderal pemimpin junta.

Koran SMH menyebut Jenderal Than Shwe dijuluki sebagai 'sosok kejam paranoid' yang menggunakan kepercayaan supranatural untuk mengkonsolidasi kekuasaannya selama dua puluh tahun di Myanmar.

Than Shwe Myanmar
Jenderal Than Shwe adalah politisi diktator Myanmar yang berkuasa dari 1992 hingga 2011. (Foto: Associated Press)

Jenderal diktator lainnya, Ne Win, yang berhasil melakukan kudeta di Myanmar pada 1962, juga dikenal kerap membuat keputusan berdasarkan arahan pakar astrologi dan peramal. Misalnya, tahun 1970, penasihat astrologi Ne Win merasa Burma telah condong ke ideologi kiri, maka sang jenderal meminta agar seluruh pengendara tidak melaju di lajur kiri, tapi di lajur kanan.

Tahun 1987, Ne Win memperkenalkan pecahan mata uang 45 dan 90 kyat, angka yang bila dijumlahkan akan menjadi sembilan, alias angka keberuntungannya.

Banyak pejabat militer Myanmar memiliki penasihat astrologi pribadi dan, sama seperti kebanyakan orang Myanmar, percaya bahwa nama pribadi dan tanggal lahir memiliki dampak khusus bagi kejadian-kejadian di Bumi.

Yang paling menohok adalah, menurut sejumlah peramal di kota Yangon, Aung San Suu Kyi, sosok yang kini ditahan pihak junta Myanmar, merupakan figur agung yang memiliki kekuatan transendental. Ramalan mereka pun tepat soal bahwa Suu Kyi akan memenangkan pemilu di tahun 2015.

Dan pada 2020, pada pemilu demokratis di bulan November, Suu Kyi kembali menang telak dan memperoleh 346 kursi di parlemen. Namun, hasil pemilu ini dianggap curang oleh pihak militer.

Hingga akhirnya terjadi kudeta militer pada 1 Februari. Memicu gelombang unjuk rasa hingga hari ini.

Rekomendasi