DK PBB Ingin Kutuk Kudeta Myanmar, Didebat Rusia dan China

| 10 Mar 2021 14:35
DK PBB Ingin Kutuk Kudeta Myanmar, Didebat Rusia dan China
Suasana Sidang Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. (ANTARA/REUTERS/Handout/aa)

ERA.id - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Selasa (9/3/2021) gagal menyepakati pernyataan mengutuk kudeta di Myanmar, seruan agar militer menahan diri, dan pernyataan ancaman akan 'tindakan lebih lanjut'.

Namun demikian, para diplomat di DK PBB mengatakan pembicaraan kemungkinan akan dilanjutkan.

Selama upaya awal untuk menyelesaikan teks pernyataan DK PBB tersebut, China, Rusia, India dan Vietnam pada Selasa malam menyarankan perubahan untuk naskah yang dibuat Inggris, kata para diplomat.

Perubahan itu termasuk penghapusan referensi untuk kudeta dan ancaman untuk DK PBB mempertimbangkan tindakan lebih lanjut. terhadap Myanmar.

Pernyataan DK PBB seperti itu harus disetujui secara konsensus oleh 15 anggota Dewan Keamanan.

Myanmar berada dalam krisis sejak kelompok militer menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari, menahan Suu Kyi dan para pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan membentuk pemerintahan junta yang dikuasai oleh para jenderal.

Militer mengeluhkan adanya penipuan dalam pemilihan umum pada November tahun lalu. Sementara komisi pemilihan umum Myanmar mengatakan pemungutan suara telah dilakukan dengan adil.

Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan kepada pers bulan lalu menyuarakan keprihatinan atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua orang yang ditahan. Namun, DK PBB kemudian berhenti mengutuk kudeta militer itu karena adanya tentangan dari Rusia dan China.

"Setiap negara anggota memiliki peran untuk dimainkan secara individu dan kolektif. Secara kolektif, kami selalu mencari suara yang kuat dan tindakan yang kuat dari Dewan Keamanan," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada wartawan pada Selasa siang, dikutip ANTARA.

Lebih dari 60 orang telah tewas dan sekitar 1.800 orang ditahan dalam tindakan keras terhadap aksi protes harian untuk menentang kudeta di Myanmar, kata sebuah kelompok advokasi. Puluhan jurnalis termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.

Naskah pernyataan Dewan Keamanan PBB, yang dilihat oleh Reuters pada Selasa, menyerukan "pada militer untuk menahan diri sepenuhnya, menekankan bahwa DK PBB mengikuti situasi di Myanmar dengan cermat, dan menyatakan kesiapan untuk mempertimbangkan kemungkinan tindakan lebih lanjut."

Seorang penyelidik independen HAM PBB di Myanmar dan kelompok pegiat HAM Human Rights Watch yang berbasis di New York telah meminta Dewan Keamanan untuk memberlakukan embargo senjata global dan sanksi ekonomi yang ditujukan pada junta Myanmar.

Akan tetapi, dalam upaya untuk menjaga persatuan DK PBB dalam isu Myanmar, para diplomat mengatakan pemberian sanksi tidak mungkin dipertimbangkan dalam waktu dekat karena tindakan seperti itu mungkin akan ditentang oleh China dan Rusia.

China dan Rusia -- bersama dengan Amerika Serikat, Prancis dan Inggris -- merupakan negara-negara yang memilki hak veto.

Naskah pernyataan DK PBB, yang mulai dibahas setelah adanya penjelasan tertutup pada Jumat (5/3) tentang situasi di Myanmar, dengan keras mengutuk "penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa."

Naskah pernyataan Dewan Keamanan itu juga telah menyatakan "keprihatinan yang mendalam atas pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, termasuk pembatasan personel medis, masyarakat sipil, jurnalis dan pekerja media, dan seruan untuk segera membebaskan semua orang yang ditahan."

Rekomendasi