Lebih Dekat dengan Joki Tugas, Jalan Pintas Si Pemalas

| 16 Dec 2022 19:20
Lebih Dekat dengan Joki Tugas, Jalan Pintas Si Pemalas
Ilustrasi. (ERA/Nisa Rahma Tanjung)

ERA.id - Seribu satu macam cara orang mencari makan, kata Bang Rhoma Irama. Salah satunya jadi joki tugas sekolah. Rabu kemarin (14/12), ERA menemui dua sekawan yang membuka jasa itu. Keduanya mahasiswi semester tiga jurusan Ilmu Komunikasi, Dinda dan Kila. Kami sepakat bertemu di kos Kila di bilangan Cinere. 

Hari sedang terik-teriknya, tapi setibanya di depan pintu kos suasana terasa sejuk. Sejumlah pohon rindang jadi pagar. Kami disambut kandang ayam, segenap sangkar burung, dan kolam kecil begitu melewati gerbang. Ayam bolak-balik berkokok padahal sudah menjelang asar. Lalu Dinda dan Kila keluar, mempersilakan kami duduk di saung kayu depan kolam.

Kila menenteng laptop dan Dinda membawa binder di tangannya. “Ada tugas yang lagi dikerjain?” tanya kami. Hampir selesai jawab mereka, tugas esai bahasa Inggris untuk anak SMP. Mereka berdua tampak akrab walaupun baru sebulan membentuk tim joki tugas.

Dinda mengaku awalnya hanya bekerja seorang diri dan baru menawarkan jasanya ke teman-teman dekat. Melihat makin marak promosi jasa joki tugas di media sosial, ia memutuskan untuk melebarkan sayap. “Karena si Kila bisa desain, aku ajak gabung.” Mereka berdua lalu membuka akun joki tugas di Twitter, bersaing dengan ratusan akun serupa.

Kila dan Dinda saat ditemui di kos mereka. (ERA/Agus Ghulam)

Kila memang baru sebulan jadi joki tugas, tapi Dinda sudah merintis karirnya sejak tahun pertama SMA. Klien-klien awalnya tak lain teman sekelasnya sendiri. Kawan sebangkunya waktu itu memintanya menggarap tugas menggambar. Rumor beredar dari mulut ke mulut. Pelanggannya makin ramai. “Sampai anak IPA juga ngejoki di aku gitu, tugas sejarahlah, matematika, ekonomi,” ceritanya.

Dinda belajar cara meniru tulisan orang lain untuk memuluskan siasatnya. Ada satu buku khusus yang ia gunakan untuk melatih menulis berulang-ulang. “Yang susah kalau dapat yang tulisan tangannya bagus, harus pelan-pelan,” cerita Dinda. “Kalau tulisannya rapi banget aku nulisnya satu huruf, satu huruf, gak bisa langsung satu kalimat.”

Kurang lebih tiga jam kami mengobrol sambil sesekali melihat Dinda dan Kila bekerja. Beruntung ibu kos tak merasa terganggu dengan kedatangan kami. Ia malah menahan suaminya keluar saat kami sedang mengambil gambar. Kami pulang mengantongi banyak cerita soal lika-liku jadi joki tugas. Begini kisahnya.

Tugas Nyantai Harga Cincai

Joki tugas adalah hal baru bagi kami. Dulu kami hanya mengenal joki skripsi, karena tugas sekolah biasanya dibagi cuma-cuma antar teman sekelas. Jarang yang kepikiran untuk joki tugas orang lain, sebab tugas sendiri saja kadang keteteran. Dinda dan Kila tampaknya tidak begitu.

Mereka berdua mengaku selain untuk menambah uang jajan, jadi joki tugas juga mengisi banyak waktu kosong mereka. “Kalian ini hobi belajar ya?” tanya kami penasaran dan keduanya kompak menyanggah.

“Siapa sih Kak yang hobi belajar?” tanya Dinda balik sambil tertawa. ‘Kalau gak ada uangnya juga kita males.” Ia bercerita semasa SMA-nya malah sering bolos sekolah. Kenakalannya itu agak dimaafkan guru-guru berkat otaknya yang menurutnya lumayan encer.

Kila lain lagi. Sebelum bertemu Dinda, hidupnya lurus-lurus saja. Tak pernah ia kepikiran untuk jadi joki tugas. Tiap Minggu ia rajin ikut kebaktian dan ikut membantu mengembangkan media sosial gerejanya. Gara-gara terampil urusan desain itu juga Dinda merekrutnya.

Kila dan Dinda sedang mengerjakan salah satu tugas pesanan yang diterima via Twitter. (ERA/Agus Ghulam)

“Kita mutusin akhinya pakai akun Twitter karena juga lebih gampang mengkurasi,” ujar Kila. “Bisa langsung nyari aja hashtag joki tugas.” Ia kebagian memegang akun Twitter, sedangkan Dinda mengurus Whatsapp bisnis. Sejak saat itu, tiap harinya ada dua sampai empat pesanan joki tugas yang masuk.

Dalam seminggu, Dinda dan Kila masing-masing bisa mengantongi upah hingga Rp500 ribu dari hasil joki tugas. Mereka biasa mematok harga mulai Rp15 ribu hingga Rp25 ribu per lembar. “Kita sekali nugas kan 10 lembar, 15 lembar, itu kalau dikali 10 aja udah lumayan,” ujar Dinda.

Mereka membuka jasa joki tugas untuk semua mata pelajaran dengan slogan “Tugas Nyantai, Harga Cincai”, mulai dari jenjang SMP hingga kuliah. Sesekali bahkan Dinda diminta mengerjakan beberapa bab skripsi kakak tingkatnya. Sepanjang pengalaman sebagai joki tugas, mereka memberlakukan syarat tak tertulis: sebelum menggarap tugas orang, tugas sendiri harus selesai lebih dulu.

Sebagai tim, pembagian kerja antar mereka sudah tertata jelas. Kila bertugas mengeksekusi infografis dan presentasi PPT, sedangkan Dinda mengumpulkan materi. “Untuk esai, artikel, jurnal, kita bagi berdua. Kalau lagi free, aku yang ngerjain, Dinda juga begitu,” ujar Kila.

Yang untung dan rugi dari joki tugas

Dinda dan Kila masih berusia 19 tahun dan kurang dua setengah tahun lagi sebelum jadi sarjana. Keduanya tampak percaya diri merampungkan kuliah tepat waktu. Tak ada keraguan di mata mereka. Namun, mereka masih belum bisa mengira-ngira akan jadi apa selulusnya nanti.

Dinda juga bekerja sampingan sebagai barista di Bekasi. Orang tuanya tahu anak mereka menyambi jadi joki tugas dan tak pernah mempermasalahkannya. Saat kami tanya mau sampai kapan jadi joki, ia tak memberi kepastian. “Selama masih ada waktu dan bisa kepegang, kayaknya bakal terus aja.” Kila menjawab serupa.

“Jadi joki ini kan bukan suatu pekerjaan yang harus spend waktu banyak, bisa ngerjain dari kamar kos, terus ngehasilin duit,” ujar Kila. Ia merasa punya kebanggaan mampu menghasilkan uang sendiri dan tak melulu minta ke orang tuanya di rumah.

Selain karena uang yang didapat, Dinda sendiri senang karena merasa telah membantu orang lain dan mendengar testimoni baik. “Itu sih yang bikin senang, bisa ngebantu orang dan mereka juga senang sama output yang kita kasih.”

Sementara itu, Sosiolog UIN Jakarta, Dr. Tantan Hermansah menyikapi maraknya joki tugas sebagai hal yang negatif dan dalam jangka panjang bisa berbahaya. “Akan menghasilkan masyarakat yang mudah menyerah dan ingin enak-enak saja,” ujarnya kepada ERA, Jumat (16/12). Ia membandingkannya dengan budaya mencontek, baginya, kedua hal itu sama saja.

Dinda dan Kila berpose di depan pintu kos sebelum berpamitan. (ERA/Muslikhul Afif)

Dinda dan Kila tak merasa ada yang salah dengan kerja sampingan mereka. Bagi keduanya, risiko ditanggung masing-masing. Kila hanya sesekali berpikir betapa malasnya orang-orang yang memakai jasa mereka. “Ini orang kebanyakan duit apa gimana ya? Maunya asal ngejoki aja gitu,” ucapnya terheran-heran. “Tapi kayak ya udah, aku yang dapat duit gak apa-apa gitu.”

Rekomendasi