ERA.id - Perjalanan darat melelahkan dengan waktu tempuh tiga jam dari Denpasar terbayarkan saat kaki menapaki warung Dapur Bali Moela di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.
Suasana klasik menyambut tiap pengunjung yang seakan merasakan kembali nostaliga Bali tempo dulu.
Gebyok dengan ukiran khas Pulau Dewata yang ditempatkan di beberapa sudut dan dekorasi yang sebagian besar terbuat dari kayu menambah kesan alami dan artistik warung yang didirikan pada 2021, saat pandemi COVID-19 masih melanda.
Konsep tersebut menyesuaikan dengan latar belakang Desa Les yang termasuk desa tua di Bali Utara yang perlu dilestarikan.
Tak hanya itu, tempat makan berupa “bale bengong” atau balai tempat bersantai yang digunakan untuk pengunjung menyantap makanan dikutip dari Antara, Sabtu (1/7/2023).
Makanan khas dengan bumbu kaya rempah diracik langsung oleh pemiliknya Gede Yudiawan.
Pria berusia 43 tahun itu bukan sembarang tukang masak. Ia adalah koki yang pernah bekerja sama dengan pakar kuliner William Wongso untuk sejumlah proyek kuliner baik dalam dan luar negeri.
Tak heran jika gelar chef tetap disematkan di depan namanya yang sebelumnya mengelola restoran di kawasan wisata Kuta, Kabupaten Badung, namun kini tutup akibat pandemi.
Dapur tradisional
Dapur Bali Moela menyajikan masakan Bali yang utamanya hasil olahan laut karena desa itu berlokasi di pinggir pantai.
Keunikannya adalah tidak ada menu tetap yang dijual sehingga menu hari itu tergantung hasil bumi dan hasil tangkapan laut nelayan di Desa Les.
Umumnya hasil laut di antaranya ikan, gurita, dan cumi yang langsung diolah dalam keadaan segar.
Dengan begitu, pengunjung perlu melakukan pemesanan satu hingga dua hari sebelum kedatangan melalui media sosial instagram warung itu agar bahan makanan dapat disesuaikan.
Pria beranak tiga itu pun turun langsung mengolah makanan laut tersebut dengan bumbu dapur dan rempah khas Bali yang didapatkan dari desa sekitar.
Mengenakan baju koko dan sarung berwarna serba putih, tangan kanan dan kirinya cekatan mengiris daging ikan menggunakan pisau tajam untuk mengolah bahan makanan.
Sesekali, ia mengelap keringat di wajahnya dengan handuk yang diselempangkan di pundaknya, beradu dengan asap yang mengepul dari paon (dapur) tradisional.
Sebagian besar olahan makanan dimasak dengan cara tradisional, misalnya membakar satai, menanak nasi dan mengolah ikan masih menggunakan tungku dan kayu bakar.
Kayu-kayu tersebut didapatkan secara mudah di kebunnya dan sekitar desa tersebut.
Pengunjung pun dapat menyaksikan langsung mereka mengolah makanan dan merasakan aroma khas dapur tradisional.
Dibantu sekitar enam orang petugas masak, menu andalan yang dimasak di antaranya ikan timbungan yakni olahan ikan berkuah yang dibakar dalam bambu, satai lilit, satai ikan, hingga lawar gurita atau parutan kelapa, gurita dan sayuran dengan bumbu khas Bali dengan tambahan cabai bun (piper longum).
Bayar seikhlasnya
Keunikan lain di warung ini, yakni setelah menyantap makanan, sistem pembayarannya menggunakan metode donasi sukarela.
Sehingga tidak ada patokan harga yang harus dikeluarkan pengunjung.
Chef Yudi tidak merasa rugi dengan menerapkan sistem tersebut karena dengan donasi, dirinya tak pernah merasa kekurangan.
“Saya masak seadanya, apa adanya, orang juga menghargai seikhlasnya. Jika mematok harga, maka mereka ekspektasi tinggi. Saya ingin kebebasan dan leluasa mengangkat potensi di desa,” kata Chef Yudi yang sudah 20 tahun bergelut dengan kuliner, kepada ANTARA.
Filosofi ikhlas tersebut sesuai dengan peran lain yang ia lakoni saat ini, yakni menjadi pemangku atau pemuka agama Hindu yang melayani umat di Pura Dalem Pingit Desa Adat Les dan Desa Adat Penuktukan, Kabupaten Buleleng.
Tak jarang, pria dengan nama adat Jero Mangku Dalem itu harus menutup warung tatkala panggilan untuk melayani umat saat ada upacara keagamaan besar di desanya.
Dengan keunikan-keunikan tersebut mendorong orang untuk berkunjung dan menikmati masakan Chef Yudi.
Seperti Regina, pengunjung dari Denpasar yang rela menempuh perjalanan jauh untuk menikmati dan merasakan pengalaman berbeda.
Ia pertama kali mengenal warung itu dari unggahan teman-temannya melalui media sosial.
“Saking penasarannya, makanya saya ajak keluarga dan ternyata makanannya mantul (mantap betul), mau datang lagi nanti,” kata pengunjung setelah menyantap makanan.
Mereka pun kemudian memasukkan sejumlah uang rupiah pecahan Rp100.000 ke dalam toples bertuliskan “donasi”.
Selain membuat penasaran orang, konsep di warung tersebut juga mengundang seorang mahasiswa jurusan pariwisata di Universitas Gadjah Mada (UGM) Buwana Marhenta melakukan penelitian untuk tugas skripsinya.
Selama satu bulan penelitian, ia tertarik mengangkat relasi antara pengalaman dan kepuasan pengunjung dengan metode pembayaran donasi tersebut.
Wisata gastronomi
Selain makanan, warung itu juga memproduksi gula merah yang diproses secara tradisional menggunakan kayu bakar.
Kapasitas produksi masih belum menentu namun rata-rata per hari mencapai 10 liter gula merah yang diolah menggunakan sekitar 100 liter nira pohon aren.
Tak hanya itu, di dapur itu juga memproduksi arak dari nira pohon lontar yang direbus di tungku menggunakan kayu bakar.
Uap hasil perebusan itu kemudian melalui bambu yang ditampung dalam botol.
Adapun rata-rata produksi per hari arak secara tradisional itu mencapai 24 botol yang masing-masing mencapai 750 mililiter atau total sekitar 18 liter.
Keunikan konsep dan sistem donasi itu menurut Ketua Komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) Santhi Serad, tidak banyak orang atau pelaku usaha yang melakoninya.
Selain menggali potensi desa dan melestarikan budaya, konsep tersebut sejatinya mengenalkan wisata gastronomi yang masih belum dikenal luas masyarakat.
Dosen di Institut Pariwisata Trisakti, Jakarta itu mengungkapkan cakupan wisata gastronomi itu lebih luas dibandingkan wisata kuliner yang cukup menjajal makanan khas suatu tempat.
Sedangkan dalam wisata gastronomi, selain menyantap makanan, juga ada cerita yang dituturkan secara tidak langsung atau story telling kepada pengunjung misalnya mempelajari makanan, bahannya hingga sejarahnya.
Sehingga ada nilai tambah yang didapatkan pengunjung selain cita rasa makanannya.
“Pengunjung datang ke suatu tempat bisa belajar, ada ceritanya, ada sejarahnya,” ucap Santhi yang ikut menjajal masak bersama dengan Chef Yudi.