ERA.id - Pernikahan seorang polisi dan perempuan di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan, belakangan marak dibincangkan karena uang panaik dan maharnya. Hal itu dunggah pertama kali oleh akun Facebook Widia Meilani.
Panaik dalam budaya Bugis Makassar diartikan sebagai uang belanja untuk pesta pernikahan. akun Facebook Widia Meilani menyampaikan, mahar dan uang panaik dari pengantin pria untuk pengantin perempuan nilainya selangit.
Uang Rp300 juta, perhiasan emas, beras 1 ton, kuda 2 ekor, rumah, tanah, dan mobil. "Mantap sekali dg fuji," tulis Widia.
300Jt Emas 1 Stel Beras 1 ton kuda 2 Ekor Tanah unit mobil rumah mantap sekali dg fuji
Dikirim oleh Widia Meilani pada Jumat, 16 Oktober 2020
Pesta pernikahan digelar di Kelurahan Tolo Timur, Lingkungan Balang Pasui, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Informasi Widia banyak dibagikan dan ditanggapi serta dikomentari pengguna Facebook. "Namanya juga tradisi. Jadi harus dihargai. Lagi pula tidak haram," ungkap Sinta Yuriza.
"Kalo mampu tidak masalah kok. Itu bentuk penghargaan dan keseriusan laki-laki dalam meminang mempelai perempuan," tulis Nur Afiat Pratiwi.
Meski banyak yang mendukung, ada juga yang menganggap budaya uang panaik sebagai hal yang memberatkan. "Islam tidak mengajarkan begitu," tulis Rusdee Art.
Plus uang panai
Dilansir dari Etnis.id dalam tulisan Uang Panai dan Masa Depannya yang ditulis Muhammad Almaliki, plus dari uang panai, pertama yakni perempuan Bugis-Makassar disimbolkan sebagai sesuatu yang berharga dan sulit dimiliki. Meski ini didebat kalangan agamawan, tapi butuh waktu yang panjang untuk menyimpulkan.
Kedua, lelaki bisa menjadi lebih siap mental jika prahara soal materi menghantam rumah tangganya. Dengan catatan, lelaki yang dimaksud, berusaha sendiri mencari dana untuk memenuhi permintaan calon mertuanya.
Ketiga, kedua mempelai bisa lebih mempersiapkan masa depannya bersama. Misal, dalam madduta, diputus kalau mempelai lelaki harus menyiapkan sunrang yakni sebidang tanah atau sepetak rumah untuk istri, agar posisi perempuan terlindungi dalam keluarganya. Itu juga menjadi lambang harga diri menurut orang Bugis-Makassar.
Minus uang panai
Pertama, mental lelaki untuk menikah jadi gampang redup, dikarenakan mahar dan uang panai. Bayangkan saja, jika Anda lelaki, belum menikah, dan isi atm Anda tidak mendukung dan orang tua Anda kere. Meski Anda mau berusaha dan bekerja, tapi dihambat uang panai, bagaimana perasaan Anda?
Kedua, dianggap bertentangan dengan agama. Sebab mahar yang ringan dan Islam yang melarang seseorang dengan bertindak secara berlebih-lebihan. Walau begitu, hal ini masih berpolemik dan diperdebatkan.
Ketiga, stereotip negatif kepada perempuan Bugis bisa terus-menerus terjadi. Muncul anggapan bahwa orang-orang Bugis kalau dinikahi hanya akan memberatkan, sebab standar soal tradisi adatnya yang tinggi.
Keempat, sentimen negatif bisa menerpa keluarga perempuan dan calon mempelai. Sementara lelaki, dengan modal cinta, kerja keras, dan uang panai yang kurang, bisa menjadi sosok pahlawan yang gugur karena terhalang restu orang tua perempuan (cuma karena uang panai).
Khusus dalam subpoin keempat, sepengamatan penulis, orang tua mempelai perempuan memang ingin tercipta diskusi dan tawar menawar yang baik. Ini yang luput dibicarakan.
Penulis ingat, kata mertua lelaki kawannya, ia mendaku tipikal orangtua yang tak senang dengan keputusan yang bulat hari itu juga. "Ada baiknya, lelaki itu datang ke kami, berulang-ulang, bicara soal kesanggupannya. Semua masih bisa didiskusikan."
Yang terjadi sekarang adalah, kita tidak pernah tahu lelaki yang dibabat harapannya karena uang panai, apakah pernah datang ke keluarga perempuan untuk negosiasi atau tidak sama sekali?
Selain itu, bisa juga ada indikasi bahwa orang tua perempuan tidak menyukai lelaki yang ingin meminang anaknya. Makanya, trik mereka adalah memasang harga tinggi untuk menolak, sebab penolakan langsung seperti bahasa tidak direstui, terbilang kasar dan menyakitkan.